B.
Situasi Umat Islam Indonesia
Agama
Islam datang ke Indonesia pada abad 1 Hijriah atau abad ketujuh/kedelapan
Masehi, langsung dari Arab.
Masuknya
Islam ke Indonesia melalui “Penetration
Pasifique” secara diam-diam dan damai, hingga akibat positifnya,
Islam diterima dengan hati dan tangan terbuka oleh masyarakat Indonesia.
Sebaliknya, akibat negatifnya pun tampak, yaitu berpadunya ajaran Islam dengan
unsur-unsur kebudayaan dan adat istiadat yang berasal dari Hinduisme,
Buddhaisme, dan Animisme, sehingga melahirkan aliran-aliran kebatinan atau
klenik, sedang peradaban Barat dengan unsur-unsur sekularisme dan liberalisme
menimbulkan pandangan yang bersifat Barat.
Kedua
sebab tersebut bukan hanya di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia Islam.
Malah bertambah parah dengan berkembangnya mazhabisme, sufisme, dan dengan
tertutupnya “bab el ijtihad” yang
mematikan dinamika alam Islam.
Di
atas kejumudan itu, muncullah kebangkitan dunia Islam berupa reformasi dan
modernasi dalam tata kehidupan umat Islam serta gerakan perjuangannya, Gerakan
Pan Islamisme dari Jamaluddun Al Afgani (1838-1897) dan gerakan Muhammad Abduh
(1849-1905) muncul dalam watak yang radikal, mengilhami dan mendorong terhadap
kebangkitan rakyat Asia Afrika, termasuk Indonesia.
Kebangkitan
itu ditandai dengan munculnya Serikat Dagang Islam (SDI) tahun 1908,
Muhammadiyah 18 November 1912, Al Jamiatul Wasliyah 30 November 1930, Persatuan
Umat Islam (PUI) tahun 1917, Persatuan Islam (Persis) tahun 1923, dan
lain-lain.
Tuntutan
Perang Kemerdekaan, yang tidak dapat ditawar-tawar, memerlukan kesatuan dan
persatuan umat islam sebagai tulang punggung Bangsa dan Negara. Setelah
keluarnya Pengumuman Pemerintahan tertanggal 3 November 1945, yang
ditandatangani Wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta, yang membolehkan berdirinya
partai-partai, maka bertempat di Gedung Madrasah Muallimin Muhammadiyah, Jalan
Taman Sari 68 Yogyakarta, tanggal 7 November 1945, dilangsungkanlah
Muktamar 1 Umat Islam Indonesia setelah
merdeka. Muktamar ini diikuti oleh seluruh partai-partai dan sebagian besar
organisasi-organisasi Islam dari seluruh Indonesia.
Keputusan
yang diambil dalam Muktamar itu, antara lain :
a)
Mendirikan satu Partai Politik Islam
yang bernama “MASYUMI” (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
b)
MASYUMI adalah satu-satunya partai
politik Islam, dan tidak boleh mendirikan Partai Politik Islam lain, kecuali
MASYUMI
c)
MASYUMI-lah yang akan memperjuangkan
nasib umat Islam di bidang politik.
Indonesia gempar
pada waktu itu, karena golongan dan partai-partai lain merasa keciljiwanya.
Mereka merasa takut dan khawatir melihat gelombang kesatuan umat Islam, berdiri
dengan megahnya, merupakan pertahanan untuk membentengi serangan-serangan,
hinaan, dan cemoohanyang ditunjukkan kepada umat islam dan bangsa Indonesia.
Berdirinya
MASYUMI sebagai satu-satunya Partai Islam, maka partai-partai yang ada, seperti
PSII, PII, Penyadar, dan PERMI, dilebur dan berfusi menjadi satu dengan
MASYUMI. Adapun organisasi-organisasi sosial, seperti Muhammadiyah, Nahdhatul
Ulama (NU), PUI, Al Jamiatul Wasliyah, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA),
menjadi anggota istimewa dari MASYUMI.
Sebelum MASYUMI
lahir, di kalangan Angkatan Muda Islam, bertempat di Balai Muslimin sebelah
Timur Gedung Piola Jakarta sekarang, pada tanggal 2 Oktober1945, didirikanlah
Organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), yang bergerak di bidang
politil dan kemasyarakatan.
Cita-cita untuk
mendirikan GPII, mula-mula timbul dari Anwar Cokroaminoto, K.H. Wahid
Hasyim, dan Muhammad Natsir dan mendapat
sambutan baik dari Pemuda/Mahasiswa Islam yang sedang belajar di Sekolah Tinggi
Islam (STI-sekarang UII), sewaktu masih berkedudukan di Jakarta, antara lain,
dari Anwar Haryono (d.r S.H.), Karlim Halim, Akhmad Bukhari, Janamar Azam,
Syadeli Mukhsin, dan Adnan Syamni.
Dalam GPII
terdapat GPII Seksi Pelajar, yang diketuai Akhid Masduki (S.H.), Ketua Dewan
Pimpinan Wilayah MASYUMI Yogyakarta sewaktu dibubarkan, ex Ketua Partai
Muslimin Indonesia Wilayah Yogyakarta periode1969-1971, ex Sekertaris
Perwakilan Departemen Agama Daerah Istimewa Yogyakarta, sekarang Direktur
Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogykarta.
Dalam
perkembangan GPII selanjutnya, sewaktu zaman NASAKOM, GPII menghadapi tantangan
berat, dipaksa bubar pada tahun 1963.
Di atas
keputusan Presiden (Keppres) No. 139/1963 tanggal 10 Juli 1963, karena dituduh
tersangkut percobaan pembunuhan Presiden Soekarno sewaktu Peristiwa Cikini 30
November 1957, Anti MANIPOL dan lain-lain, GPII dipaksa bubar.
Berdasarkan
Keputusan Konferensi Darurat Dewan Organisasi GPII di Jakarta tanggal 28-29
Juli 1963, yang dituangkan dalam surat Pucuk Pimpinan GPII No. 940/11/Um
tanggal 9 Agustus 1963, ditandatangani Pejabat Ketua Umum H.A. Bukhari dan
Ketua II Sumarso Sumarsono, disertai dengan MEMORANDUM, maka GPII dinyatakan bubar.
Sedangkan ketua umum GPII, E.Z. Muttaqien (sekarang Rektor Universitas Islam
Bandung (UNISBA) dan Ketua Umum PP Persatuan Guru Islam Indonesia (PGII) waktu
itu sedang berada di rumah tahanan Madiun, bersama-sama pemimpin islam lainnya.
Bersamaan waktunya
dengan usaha yang dirintis untuk rehabilitasi MASYUMI, tanggal 9 Mei 1966, H.A.
Bukhari sebagai Pj. Ketua Umum PP GPII waktu dibubarkan, mengajukan kepada
Pemerintah di sekitar rehabilitasi GPII. E.Z. Muttaqien, H.A. Bukhari, Sumarso
Sumarsono, pada tanggal 2 Oktober 1966, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun
ke-21 GPII, menyatakan kembali kebangkitan GPII, dan akan dibentuk Panitia
Kebangkitan GPII.
Dalam Muktamara
Pemuda Persatuan Islam (PPUI) yang kesatu di Bandung tanggal 27 Juni sampai
dengan 1 Juli 1967, diputuskan bahwa PPUI dinyatakan Independen, lepas dari
induknya Persatuan Umat Islam (PUI). Karena rehabilitasi GPII secara formal
masih sulit, maka diputuskan bahwa kebangkitan GPII diteruskan melalui PPUI.
Untuk
meneruskan kebangkitan GPII melalui PPUI, di Jakarta tanggal a s.d. 6 Oktober
1969 dilangsungkan Sidang Dewan Organisasi (SDO) ke-2 PPUI, dan salah satu
keputusannya adalah mengubah nama PPUI menjadi Gerakan Pemuda Islam (GPI).
Keputusan itu diambil karena nama GPI (I) mempunyai daya penarik yang sangat
kuat dan sekaligus untuk meningkatkan kepada GPII.
Panitia
Kebangkitan GPII dibentuk 30 Agustus 1966 terdiri atas Drs. Hasbullah, Firdaus
Wajdi, Aisyah Amini S.H. dari HMI, Muh Husni Thamrin (Drs.) dari PII, dan dari
GPII sendiri.
Di bidang buruh
telah dibentuk Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII), di bidang Tani dibentuk
Serikat Tani Islam Indonesia (STII), dan di lapangan Nelayan ada Serikat
Nelayan Islam Indonesia (SNII).
Jadi, pada masa
itu kekuatan umat Islam terkonsolidasi dengan baik di bawah koordinasi Masyumi.
Sumber
: Buku SEJARAH PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (1947-1975)
0 comments:
Post a Comment