6/19/15

LATAR BELAKANG SEJARAH BERDIRINYA HMI (C)

C. Situasi Dunia Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan


     Julukan Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar” atau “Kota Universitas”, bukan akhir-akhir ini saja. Sebutan itu ada sejak awal Kemerdekaan. Lebih dikonkretkan lagi, dengan adanya penghargaan Pemerintah kepada Yogyakarta sebagai bekas Ibukota Republik Indonesia, dengan menjadikan Universitas Gadjah Mada menjadi Universitas Negeri tanggal 19 Desember 1949, maka julukan itu semakin tenar.
     Tidak mengherankan jika Yogyakarta merupakan gudang “para intelektual/cendikiawan”.
     Banyak para pejabat, tokoh masyarakat, dan pembesar negara adalah keluaran dan gemblengan “Kota Universitas”, Kota Gudeg Yogyakarta, serta kota yang paling banyak Pelajar/Mahasiswanya.
     Mereka datang dari segenap penjuru tanah air, dari Sabang hingga Merauke (Jayapura), karena daya tariknya yang cukup besar dan beraneka ragam.
     Pada saat akan berdirinya HMI, Perguruan Tinggi dan Fakultas yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya meliputi :
1.    Sekolah Tinggi  Islam (STI), yang didirikan di Jakarta tanggal 8 Juli 1945. Setelah pindah ke Yogyakarta tanggal 10 April 1946, berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tangal 20 Mei 1948. Dari Fakultas agamanya dijadikan PTAIN pada tanggal 26 September 1951. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960, tanggal 9 Mei 1960, PTAIN Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang berdiri pada tahun 1957 di Jakarta, digabungkan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al Jamiah, berkedudukan di Yogyakarta, yang diresmikan oleh Menteri Agama K.H. Wahib Wahab tanggal 2 Rabiulawal 1380 H, bertepatan 24 Agustus 1960.
2.    Universitas Gadjah Mada, ketika itu masih berstatus swasta, milik Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, yang didirikan di Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, Jalan Malioboro tangal 17 Februari 1946, dan dinegerikan tanggal 19 Desember 1949, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1950.
3.    Akademi Ilmu Kepolisian, mahasiswanya, antara lain, ialah bekas Kepala Kepolisian Negara Jenderal Hugeng.
4.    Sekolah Teknik Tinggi, mahasiswanya, antara lain, ialah M. Sanusi (Ir. H.M. Sanusit, ex Menteri Perindustrian Ringan Kabinet Anipera.
5.    Di luar Yogyakarta, yaiut di Solo dan Klaten terdapat Fakultas Pertanian, salah seorang mahasiswanya ialah Sugiman (Prof. Ir.-ex anggota Presidium Universitas Gadjah Mada tahun 1968, Ketua Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Sekarang) Terdapat pula Fakultas Farmasi, Fakultas Kedokteran, salah seorang mahasiswanya adalah Harjo Joyodarmo (dr.-ex Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta periode 1952-1953).
Pada tahun 1948, semua fakultas tersebut dipindahkan ke Yogyakarta, lalu digabungkan dengan Universitas Gadjah Mada.
     Akibat dari penjajahan Belanda, seperti diuraikan di muka, adalah dunia pendidikan dan kemahasiswaan di Indonesia telah dicekoki dan dipengaruhi unsur-unsur dan sistem pendidikan Barat yang mengarah kepada “Sekularisme” dengan “mendangkalkan Agama” pada setiap aspek kehidupan umat manusia.
     Dalam berhadapan dengan kebudayaan Barat, seperti dikatakan Dr. A. Mukti Ali dalam bukunya Ilmu Perbandingan Agama, masyarakat Islam terbelah dua. Ada yang menerima kebudayaan Barat intoto tanpa kritik sedikit pun, dan ada yang sama sekali lari dari kebudayaan Barat itu.
Akibat sikap yang demikian it, yang diintensifkan dengan struktur pendidikan Belanda di Indonesia, maka terdapatlah dua golongan intelegensia Indonesia. Segolongan berkiblat ke Barat dan segolongan lagi berkiblat ke Islam. Kedua belah pihak itu, selain ada kebaikannya, tetapi tidak sedikit keburukannya.
     Pengaruh yang tidak baik dari sistem dualistis ini, kita semua dapat merasakan.
     Karenanya, kewajibanlah bagi Sarjana-sarjana Muslim maupun Ulama-ulamanya untuk mengawinkan kedua sistem yang dualistis ini. Selain mendidik dan mengajar putra-putranya dengan pengetahuan Agama Islam, juga harus dilengkapi dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan tentang Agama, kebudayaan, dan peradaban Barat.
Apa yang diungkapkan Dr. A. Mukti Ali itu, demikianlah alam dan situasi sebelum kelahiran HMI.
Kenyataan memang menunjukkan, di mana kehidupan mahasiswa saat itu berada dalam krisis keseimbangan, di mana antara iman dan ilmu pengetahuan tidak ada keserasian.
Para mahasiswa pendamba rasionalisme dengan beralatkan hanya semata-mata Ilmu Pengetahuan tanpa dasar Agama pasti melahirkan sekularisme.
Di pihak lain, sebelum kelahiran HMI, telah berdiri Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), yang dalam Anggaran Dasarnya dinyatakan dengan tegas bahwa organisasi ini berdasar NON-AGAMA DAN NON-POLITIK. Dasar keduanya tentu dapat diterima, karena memang pada prinsipnya semua organisasi mahasiswa itu non-politik. Akan tetapi, dasar pertama tentu saja tidak dapat kita terima, karena sangat bertentangan dengan islam. Dengan dasar non-agama itu, mahasiswa-mahasiswa Islam tidak dapat bergerak dengan leluasauntuk turut serta menegakkan kalimat Allah swt. Sesuai dengan fungsi kemahasiswaannya, dan ini ssangat merugikan perkembangan dan perjuangan Agama dan umat Islam.
Di Surakarta, terdapat Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), yang juga mempunyai anggota tersebar di Yogyakarta, Klaten, dan Malang. Tokoh-tokohnya, antara lain, ialah Suripno, Utomo Ramelan, dan Sugiono, semuanya gembong Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketika itu, fakta menunjukkan, peranan cendikiawan/intelektual bangsa yang mendapat pendidikan di Perguruan Tinggi mulai tumbuh dan berkembang, baik sebagai tokoh-tokoh masyarakat maupun negarawan, yang jumlahnya makin lama makin banyaksesuai dengan arus kemajuan zaman.
Pemrakarsa pendiri HMI ketika itu membayangkan bagaimana keadaan kehidupan mahasiswa-mahasiswa itu kelak sebagai calon Sarjana dan Pemimpin Bangsa, yang sama sekali tidak mendapatkan pendidikan/pengajaran Agama Islam dari bangku kuliah.
Betapa pula kelak, seandainya para cendikiawan/intelektual yang semata-mata mengutamakan Ilmu Pengetahuan tanpa didasari ajaran Agama sama sekali, akan tampil sebagai tokoh-tokoh masyarakat, pemegang tampuk pemerintahan, memimpin rakyat dan bangsa Indonesia.
Dari orientasi kenyataan dan pemikiran ini, dapat digambarkan suatu fakta yang akan terjadi, andaikan berlaku takdir Tuhan, dimana rakyat dan bangsa Indonesia dipimpin oleh orang-orang yang tidak berjiwa Agama atau bahkan membenci/antiagama, hidup dan kehidupan bangsa Indonesia akan mengalami nasib yang sangat menyedihkan, di mana perkembangan Agama Islam pun akan terancam kemusnahan.
Keadaan kemahasiswaan seperti ini bukan hanya terdapat di Yogyakarta, tetapi hampir melanda seluruh mahasiswa di kota-kota perguruan tinggi.
Jika kondisi seperti itu dibiarkan berlarut-larut, tanpa ada usaha penanggulangan yang berencana dan sistematis untuk mengubahnya kepada konidisi yang lebih baik seperti yang diinginkan ajaran Islam, ini merupakan ancaman serius dan berbahaya bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hal ini bisa meruntuhkan sendi-sendi kehidupan kerohanian segenap rakyat Indonesia, dimana umat Islam merupakan penduduk mayoritas 90 persen menurut statistik.
Ini bukan persoalan kecil, tetapi merupakan salah satu kunci terpenting akan kelangsungan  hidup dan kehidupan Agama Islam di persada bumi Nusantara Indonesia.
Pengalaman dan fakta telah menunjukkan dan menjadi saksi sejarah “Siapa yang bisa menguasai Generasi Muda dan cendikiawan, pasti akan bisa menguasai masa depan suatu bangsa.”
Melihat kenyataan ini, mahasiswa sebagai elemen yang paling sadar di kalangan rakyat, mengiinsafi peranan dan tanggung jawabnya, demi untuk kejanyaan umat dan bangsanya.
Sebagai jawaban, atas Proklamasi 17 Agustus 1945, membangkitkan kesadaran pada kelompok mahasiswa-mahasiswa Islam.
Kemutlakan perkembangan kecerdasan otak harus disertai perkembangan yang bersifat rohaniah, keseimbangan antara pemenuhan tugas dunia dan akhirat, antara rohani dan jasmani, akal dan kalbu, serta iman dan ilmu pengetahuan, suatu yang harus seiring dan sejalan selalu.
Islam dengan tegas menganut dooktirn keseimbangan, sebagaimana kita dapati dalam Firman ALLAH swt yang berbunyyi :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di kampung akhirat. Dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) dunia.” (Q.S. Al Qosos ayat 77)
Begitu pula dalam Hadis Nabi dikatakan :
Berjuanglah kamu untuk urusan duniamu, seakan-akan kamu akan hidup terus, dan berjuanglah kamu untuk urusan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok pagi.” (Al Hadis)
Sekarang timbul persoalan. Bagaimana cara mengubah kondisi yang kurang menguntungkan itu, sehingga tercipta suasana harmonis dalam dunia kemahasiswaan dan pendidikan, yang semata-mata tidak mengutamakan rasio dan ilmu pengetahuan, tetapi mutlak harus diimbangi dengan jiwa dan semangat Agama sebagai faktor yang sangat vital bagi kehidupan setiap manusia.
Bagaimana merealisasinya sehingga menjadi kenyataan, tidak tinggal hanya lamunan. Iini adalah pekerjaan besar, berat tetapi mulia. Gagasan atau tugas seperti ini tidak bisa dikerjakan dengan sistem “sambil lalu”, tetapi harus dengan usaha yang teratur lagi berencana disertai dengan alat yang ampuh pula.
Dari problem ini, timbullah gagasan di kalangan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI), yang selama ini selalu mengikuti dan memerhatikan segala aspek dan aneka ragam kehidupan kemahasiswaan dan Pergurruan Tinggi khususnya maupun perjalanan sejarah rakyat dan bangsa Indonesia umumnya, untuk mendirikan Organisasi Mahasiswa sebagai alat perjuangan mencapai cita-cita, yang telah lama terkandung dalam dadanya. Mahasiswa tersebut adalah Lafran Pane, yang untuk pertama kali menginjakkan kakinya di Pulau Jawa tahun 1937, dan sejak tahun 1945 menetap di Yogyakarta hingga sekarang.
Dari tiga faktor tersebut di atas, yang terakhir ini adalah merupakan faktor yang paling pokok serta fundamental yang mendorong dan melatarbelakangi berdirinya HMI, yang lahir dan didirikan mahasiswa sendiri, di tengah-tengah kampus sebagai almamaternya.
Sumber : Buku SEJARAH PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (1947-1975)


       

0 comments:

Post a Comment

KOMISARIAT PERSIAPAN HMI AGROKOMPLEKS UGM
Powered by Blogger.

Recent Post

Total Pageviews

KOMISARIAT PERSIAPAN HMI AGROKOMPLEKS UGM