C. Situasi Dunia Perguruan Tinggi dan
Kemahasiswaan
Julukan Yogyakarta sebagai “Kota Pelajar”
atau “Kota Universitas”, bukan akhir-akhir ini saja. Sebutan itu ada sejak awal
Kemerdekaan. Lebih dikonkretkan lagi, dengan adanya penghargaan Pemerintah kepada
Yogyakarta sebagai bekas Ibukota Republik Indonesia, dengan menjadikan
Universitas Gadjah Mada menjadi Universitas Negeri tanggal 19 Desember 1949,
maka julukan itu semakin tenar.
Tidak mengherankan jika Yogyakarta
merupakan gudang “para intelektual/cendikiawan”.
Banyak para pejabat, tokoh masyarakat, dan
pembesar negara adalah keluaran dan gemblengan “Kota Universitas”, Kota Gudeg
Yogyakarta, serta kota yang paling banyak Pelajar/Mahasiswanya.
Mereka datang dari segenap penjuru tanah
air, dari Sabang hingga Merauke (Jayapura), karena daya tariknya yang cukup
besar dan beraneka ragam.
Pada saat akan berdirinya HMI, Perguruan
Tinggi dan Fakultas yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya meliputi :
1.
Sekolah Tinggi Islam (STI), yang didirikan di Jakarta tanggal
8 Juli 1945. Setelah pindah ke Yogyakarta tanggal 10 April 1946, berganti nama
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada tangal 20 Mei 1948. Dari
Fakultas agamanya dijadikan PTAIN pada tanggal 26 September 1951. Berdasarkan
Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960, tanggal 9 Mei 1960, PTAIN Yogyakarta dan
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang berdiri pada tahun 1957 di Jakarta,
digabungkan menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al Jamiah, berkedudukan
di Yogyakarta, yang diresmikan oleh Menteri Agama K.H. Wahib Wahab tanggal 2
Rabiulawal 1380 H, bertepatan 24 Agustus 1960.
2.
Universitas Gadjah Mada, ketika itu
masih berstatus swasta, milik Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, yang
didirikan di Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta, Jalan Malioboro tangal 17
Februari 1946, dan dinegerikan tanggal 19 Desember 1949, berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 37 tahun 1950.
3.
Akademi Ilmu Kepolisian, mahasiswanya,
antara lain, ialah bekas Kepala Kepolisian Negara Jenderal Hugeng.
4.
Sekolah Teknik Tinggi, mahasiswanya,
antara lain, ialah M. Sanusi (Ir. H.M. Sanusit, ex Menteri Perindustrian Ringan
Kabinet Anipera.
5.
Di luar Yogyakarta, yaiut di Solo dan
Klaten terdapat Fakultas Pertanian, salah seorang mahasiswanya ialah Sugiman
(Prof. Ir.-ex anggota Presidium Universitas Gadjah Mada tahun 1968, Ketua Badan
Wakaf Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Sekarang) Terdapat pula Fakultas
Farmasi, Fakultas Kedokteran, salah seorang mahasiswanya adalah Harjo Joyodarmo
(dr.-ex Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta periode 1952-1953).
Pada tahun 1948,
semua fakultas tersebut dipindahkan ke Yogyakarta, lalu digabungkan dengan
Universitas Gadjah Mada.
Akibat dari penjajahan Belanda, seperti
diuraikan di muka, adalah dunia pendidikan dan kemahasiswaan di Indonesia telah
dicekoki dan dipengaruhi unsur-unsur dan sistem pendidikan Barat yang mengarah
kepada “Sekularisme” dengan “mendangkalkan Agama” pada setiap aspek kehidupan
umat manusia.
Dalam berhadapan dengan kebudayaan Barat,
seperti dikatakan Dr. A. Mukti Ali dalam bukunya Ilmu Perbandingan Agama, masyarakat Islam terbelah dua. Ada yang
menerima kebudayaan Barat intoto tanpa
kritik sedikit pun, dan ada yang sama sekali lari dari kebudayaan Barat itu.
Akibat
sikap yang demikian it, yang diintensifkan dengan struktur pendidikan Belanda
di Indonesia, maka terdapatlah dua golongan intelegensia Indonesia. Segolongan
berkiblat ke Barat dan segolongan lagi berkiblat ke Islam. Kedua belah pihak
itu, selain ada kebaikannya, tetapi tidak sedikit keburukannya.
Pengaruh yang tidak baik dari sistem
dualistis ini, kita semua dapat merasakan.
Karenanya, kewajibanlah bagi
Sarjana-sarjana Muslim maupun Ulama-ulamanya untuk mengawinkan kedua sistem
yang dualistis ini. Selain mendidik dan mengajar putra-putranya dengan
pengetahuan Agama Islam, juga harus dilengkapi dengan berbagai cabang ilmu
pengetahuan tentang Agama, kebudayaan, dan peradaban Barat.
Apa
yang diungkapkan Dr. A. Mukti Ali itu, demikianlah alam dan situasi sebelum
kelahiran HMI.
Kenyataan
memang menunjukkan, di mana kehidupan mahasiswa saat itu berada dalam krisis
keseimbangan, di mana antara iman dan ilmu pengetahuan tidak ada keserasian.
Para
mahasiswa pendamba rasionalisme dengan beralatkan hanya semata-mata Ilmu
Pengetahuan tanpa dasar Agama pasti melahirkan sekularisme.
Di
pihak lain, sebelum kelahiran HMI, telah berdiri Perserikatan Mahasiswa
Yogyakarta (PMY), yang dalam Anggaran Dasarnya dinyatakan dengan tegas bahwa
organisasi ini berdasar NON-AGAMA DAN NON-POLITIK. Dasar keduanya tentu dapat
diterima, karena memang pada prinsipnya semua organisasi mahasiswa itu
non-politik. Akan tetapi, dasar pertama tentu saja tidak dapat kita terima,
karena sangat bertentangan dengan islam. Dengan dasar non-agama itu,
mahasiswa-mahasiswa Islam tidak dapat bergerak dengan leluasauntuk turut serta
menegakkan kalimat Allah swt. Sesuai dengan fungsi kemahasiswaannya, dan ini
ssangat merugikan perkembangan dan perjuangan Agama dan umat Islam.
Di
Surakarta, terdapat Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), yang juga mempunyai
anggota tersebar di Yogyakarta, Klaten, dan Malang. Tokoh-tokohnya, antara
lain, ialah Suripno, Utomo Ramelan, dan Sugiono, semuanya gembong Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Ketika
itu, fakta menunjukkan, peranan cendikiawan/intelektual bangsa yang mendapat
pendidikan di Perguruan Tinggi mulai tumbuh dan berkembang, baik sebagai
tokoh-tokoh masyarakat maupun negarawan, yang jumlahnya makin lama makin
banyaksesuai dengan arus kemajuan zaman.
Pemrakarsa
pendiri HMI ketika itu membayangkan bagaimana keadaan kehidupan
mahasiswa-mahasiswa itu kelak sebagai calon Sarjana dan Pemimpin Bangsa, yang
sama sekali tidak mendapatkan pendidikan/pengajaran Agama Islam dari bangku
kuliah.
Betapa
pula kelak, seandainya para cendikiawan/intelektual yang semata-mata
mengutamakan Ilmu Pengetahuan tanpa didasari ajaran Agama sama sekali, akan
tampil sebagai tokoh-tokoh masyarakat, pemegang tampuk pemerintahan, memimpin
rakyat dan bangsa Indonesia.
Dari
orientasi kenyataan dan pemikiran ini, dapat digambarkan suatu fakta yang akan
terjadi, andaikan berlaku takdir Tuhan, dimana rakyat dan bangsa Indonesia
dipimpin oleh orang-orang yang tidak berjiwa Agama atau bahkan
membenci/antiagama, hidup dan kehidupan bangsa Indonesia akan mengalami nasib
yang sangat menyedihkan, di mana perkembangan Agama Islam pun akan terancam
kemusnahan.
Keadaan
kemahasiswaan seperti ini bukan hanya terdapat di Yogyakarta, tetapi hampir
melanda seluruh mahasiswa di kota-kota perguruan tinggi.
Jika
kondisi seperti itu dibiarkan berlarut-larut, tanpa ada usaha penanggulangan
yang berencana dan sistematis untuk mengubahnya kepada konidisi yang lebih baik
seperti yang diinginkan ajaran Islam, ini merupakan ancaman serius dan
berbahaya bagi kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hal
ini bisa meruntuhkan sendi-sendi kehidupan kerohanian segenap rakyat Indonesia,
dimana umat Islam merupakan penduduk mayoritas 90 persen menurut statistik.
Ini
bukan persoalan kecil, tetapi merupakan salah satu kunci terpenting akan
kelangsungan hidup dan kehidupan Agama
Islam di persada bumi Nusantara Indonesia.
Pengalaman
dan fakta telah menunjukkan dan menjadi saksi sejarah “Siapa yang bisa menguasai Generasi Muda dan cendikiawan, pasti akan
bisa menguasai masa depan suatu bangsa.”
Melihat
kenyataan ini, mahasiswa sebagai elemen yang paling sadar di kalangan rakyat,
mengiinsafi peranan dan tanggung jawabnya, demi untuk kejanyaan umat dan
bangsanya.
Sebagai
jawaban, atas Proklamasi 17 Agustus 1945, membangkitkan kesadaran pada kelompok
mahasiswa-mahasiswa Islam.
Kemutlakan
perkembangan kecerdasan otak harus disertai perkembangan yang bersifat
rohaniah, keseimbangan antara pemenuhan tugas dunia dan akhirat, antara rohani
dan jasmani, akal dan kalbu, serta iman dan ilmu pengetahuan, suatu yang harus
seiring dan sejalan selalu.
Islam
dengan tegas menganut dooktirn keseimbangan, sebagaimana kita dapati dalam
Firman ALLAH swt yang berbunyyi :
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di kampung akhirat. Dan janganlah
kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) dunia.” (Q.S. Al Qosos ayat 77)
Begitu
pula dalam Hadis Nabi dikatakan :
“Berjuanglah kamu untuk urusan duniamu,
seakan-akan kamu akan hidup terus, dan berjuanglah kamu untuk urusan akhiratmu
seakan-akan kamu akan mati besok pagi.” (Al Hadis)
Sekarang
timbul persoalan. Bagaimana cara mengubah kondisi yang kurang menguntungkan
itu, sehingga tercipta suasana harmonis dalam dunia kemahasiswaan dan
pendidikan, yang semata-mata tidak mengutamakan rasio dan ilmu pengetahuan,
tetapi mutlak harus diimbangi dengan jiwa dan semangat Agama sebagai faktor
yang sangat vital bagi kehidupan setiap manusia.
Bagaimana
merealisasinya sehingga menjadi kenyataan, tidak tinggal hanya lamunan. Iini
adalah pekerjaan besar, berat tetapi mulia. Gagasan atau tugas seperti ini
tidak bisa dikerjakan dengan sistem “sambil lalu”, tetapi harus dengan usaha
yang teratur lagi berencana disertai dengan alat yang ampuh pula.
Dari
problem ini, timbullah gagasan di kalangan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi
Islam (STI), yang selama ini selalu mengikuti dan memerhatikan segala aspek dan
aneka ragam kehidupan kemahasiswaan dan Pergurruan Tinggi khususnya maupun
perjalanan sejarah rakyat dan bangsa Indonesia umumnya, untuk mendirikan
Organisasi Mahasiswa sebagai alat perjuangan mencapai cita-cita, yang telah
lama terkandung dalam dadanya. Mahasiswa tersebut adalah Lafran Pane, yang
untuk pertama kali menginjakkan kakinya di Pulau Jawa tahun 1937, dan sejak
tahun 1945 menetap di Yogyakarta hingga sekarang.
Dari
tiga faktor tersebut di atas, yang terakhir ini adalah merupakan faktor yang
paling pokok serta fundamental yang mendorong dan melatarbelakangi berdirinya
HMI, yang lahir dan didirikan mahasiswa sendiri, di tengah-tengah kampus
sebagai almamaternya.
Sumber
: Buku SEJARAH PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (1947-1975)
0 comments:
Post a Comment