ACARA IV
MENENTUKAN IKLIM
SUATU TEMPAT
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Iklim dapat didefinisikan sebagai ukuran statistik cuaca untuk jangka
waktu tertentu dan cuaca menyatakan status atmosfer pada sembarang waktu
tertentu. Dua unsur utama iklim adalah suhu dan curah hujan. Indonesia ebagai
daerah tropis ekuatorial mempunyai variasi suhu yang kecil, sementara variasi
curah hujannya cukup besar. Oleh karena itu, curah hujan merupakan unsur iklim
yang sering diamati dibandingkan suhu. Pada praktikum kali ini data curah hujan
dan suhu digunakan untuk menentukan iklim yang diambil dari stasiun meteorologi
Karang Ploso ( Batu Malang). Penggolongan iklim ini antara lain menurut Mohr,
Schmidt-Fergusson, Oldeman dan Koppen.
B. TUJUAN
1.
Melatih mahasiswa menyatukan berbagai anasir
iklim guna penentuan tipe iklim.
2.
Melatih mahasiswa mengetahui
dan mengurangi hubungan tipe iklim dengan keadaan tanaman setempat.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Iklim merupakan gabungan berbagai kondisi cuaca
sehari-hari atau dikatakan iklim adalah merupakan rata-rata cuaca, yaitu harga rata-rata cuaca selama 30 tahun yang
merupakan persetujuan internasional. Iklim disusun oleh
unsur-unsur yang sama dengan yang menyusun cuaca. Untuk mencari harga rata-rata
ini tergantung pada kebutuhan dan keadaan. Hanya perlu diketahui untuk
mengetahui penyimpangan-penyimpangan iklim harus mendasarkan pada harga normal,
yaitu harga rata-rata cuaca selama 30 tahun. Oleh karena iklim dari suatu
tempat disusun oleh unsur-unsur yang variasinya besar, maka hampir tidak
mungkin untuk dua tempat mempunyai iklim yang identik. Sebetulnya hampir tidak
terbatas jumlah iklim di permukaan bumi ini yang memerlukan penggolongan dalam
suatu kelas atau tipe. Perlu diketahui bahwa semua klasifikasi iklim itu buatan
manusia sehingga masing-masing ada kebaikannya dan ada keburukannya. Hanya saja
yang jelas mereka mempunyai persamaan tujuan yaitu berusaha untuk
menyederhanakan jumlah iklim lokal yang tidak terbatas jumlahnya itu menjadi
golongan yang jumlahnya relatif sedikit, yaitu kelas-kelas yang mempunyai sifat
yang penting yang bersamaan (Wisnubroto, et
al., 1983).
Variasi-variasi yang kecil sekalipun dalam sirkulasi
umum hampir selalu tercermin dalam perubahan elemen-elemen iklim. Beberapa
kawasan mengalami peningkatan curah hujan sedangkan kawasan-kawasan yang lain
mengalami musim kering. Tidaklah ada suatu cara yang benar-benar sempurna untuk
mengklasifikasikan skala variabilitas iklim yang berbeda. Memang benar bahwa
perubahan cuaca dari hari ke hari dengan regim cuaca yang berlangsung lebih
pendek adalah merupakan sifat alamiah dari cuaca dan tidak mencerminkan
variabilitas iklim. Namun demikian, para pakar klimatologi menganggap beberapa
regim cuaca berlangsung lebih lama sebagai suatu bentuk variabilitas iklim
(Trewartha, 1995).
Klasifikasi secara
empirik dapat dibagi dua yaitu :
- Klasifikasi iklim berdasarkan Rational Moisture Budget
(Thornthwaite).
Penggolongan
iklim ini memasukkan pengertian penguapan, karena menurutnya tumbuhan hidup
tidak hanya tergantung pada curah hujan saja, tetapi juga oleh uap air. Apabila
penguapan melebihi curah hujan yang jatuh, maka keadaan seperti ini tidak ada
gunanya bagi tumbuhan (Sutarno, 1998).
- Klasifikasi iklim berdasarkan pertumbuhan vegetasi alami
- Mohr
Mohr
mengemukakan batasan-batasan baru untuk menunjukkan adanya kekuatan periode
kering terhadap tanah dari gambaran curah hujan. Dan pembagian iklim menurut
Mohr didasarkan atas banyaknya bulan basah dan bulan kering suatu tempat
(Bennet, 1939).
- Schmid dan Fergusson
Schmid
dan Fergusson mendapatkan bulan basah dan bulan kering bukannya mencari harga
rata-rata curah hujan untuk masing-masing bulan tetapi dengan cara tiap tahun. Adanya bulan basah dan bulan
kering dihitung kemudian dijumlahkan untuk dirata-ratakan, untuk mengetahui
periode kering di suatu daerah Schmid dan Fergusson menghitung nilai Q
didasarkan kriteria kering, cukup dan lembab menurut batasan Mohr. Tetapi
karena angka yang digunakan terlampau rendah maka untuk keperluan pertanian
hendaknya digunakan secara hati-hati. Hingga saat ini kekeringan masih sulit
untuk diberikan batasan yang dapat digunakan untuk semua keperluan pertanian,
karena tiap jenis tanah, tanaman dan kondisi iklim tertentu mempunyai batas
tertentu pula untuk mencapai tingkat kekeringan (Sutrisno dan Sumiratno, 1983).
- Oldeman
Klasifikasi
iklim yang dibuat oleh Oldeman menggunakan dasar yaitu bulan basah dan bulan
kering yang berturut-turut, kesemua itu dihubungkan dengan kebutuhan air bagi
tanaman basah dan palawija. Penentuan bulan basah dan bulan kering oleh Oldeman
sedikit berbeda dengan cara yang dilaksanakan oleh Mohr. Perbedaan lain Mohr
berdasarkan evaporasi setiap 2 mm sedangkan Oldeman berdasarkan kebutuhan air
oleh tanaman padi, sawah basah dan palawija (Sutarno, 1998).
- Koppen
Dasar
klasifikasi ini adalah rata-rata curah hujan dan temperatur baik bulanan maupun
tahunan. Tanaman-tanaman asli dilihat sebagai kenampakan yang terbaik dari
keadaan yang sesungguhnya, sehingga batas-batas iklim yang ditentukan dengan
batas-batas hidupnya tanaman (Jenny, 1973).
Maksud suatu
pengelompokan iklim ialah penggolongan untuk penyederhanaan, pengertian dan
akhirnya pemahaman pola iklim dunia. Penggolongan ini secara otomatis
menghasilkan sejumlah tipe iklim. Masalah utama dalam mengembangkan sistem
pengelompokan iklim adalah yang berhubungan dengan definisi iklim yang
melibatkan banyak unsur. Penggunaan hanya satu unsur iklim belumlah memenuhi
persyaratan pengelompokan iklim. Meskipun demikian, distribusi unsur tunggal
tersebut di suatu daerah dapat merupakan informasi yang berguna. Sebaliknya,
penggunaan semua unsur iklim menghasilkan kerumitan yang malah menyalahi maksud
pengelompokan iklim, yaitu kesederhanaan dan kejelasan. Oleh karena itu,
biasanya digunakan dua atau tiga unsur iklim (Prawirowardoyo, 1996).
Indonesia yang terletak di antara dua benua, dua lautan
luas, berada di sekitar khatulistiwa dalam bentuk gugusan pulau-pulau
dikategorikan sebagai wilayah beriklim tropik basah yang isotermik. Penciri
utama keragaman iklim di Indonesia adalah curah hujan, kemudian diikuti oleh
keragaman suhu dalam kaitannya dengan tinggi tempat dari muka laut (elevasi).
Walaupun sebagian besar wilayah Indonesia
mendapatkan curah hujan cukup tinggi (>200 m/thn) dengan musim hujan >6
bulan, terdapat juga beberapa daerah kering yang hampir menyamai daerah
beriklim semi arid-tropik (SAT), terutama di wilayah Indonesia bagian timur (NTB dan NTT).
Perbedaan curah hujan yang mencolok di beberapa wilayah Indonesia erat
kaitannya dengan posisi geografi dan sifat fisiografi wilayah yang mempengaruhi
sirkulasi udara global dan regional (angin musim dan lokal) (Bey.A. dan Las .I.
1991).
Suatu cara untuk mengetahui pengaruh iklim pada produksi
pertanian, sebelum tanaman tersebut akan ditanam, maka harus menyelidiki dahulu
daerah-daerah yang dapat memperoleh hasil yang baik untuk tanaman tersebut agar
dapat tumbuh dan menghasilkan, membandingkan daerah-daerah yang sudah
menghasilkan dengan baik dari daerah-daerah itu dipelajari iklimnya dan apabila
hasilnya baik maka dapat dicari persamaan iklim daerah-daerah tersebut, dan
kalau ada daerah yang cocok dengan keadaan iklimnya tetapi belum ada tanaman
tersebut atau yang akan dicoba maka baik dipergunakan untuk percobaan
(praktek). Cara-cara membandingkan daerah-daerah yang menghasilkan dengan baik
yaitu:
Misal :
1. Tebu : Salah satu cara
memperoleh persamaan syarat-syarat tumbuhnya tebu, yaitu dengan dibuat diagram
mengenai suhu dan curah hujan.
Adapun persamaannya :
- Temperatur rata-rata setahun diatas 25 oC – 26 oC
- Hujan rata-rata setahun kurang dari 100 cm
- Memerlukan periode kering berturut-turut yang panjangnya sampai 3 bulan
- Kopi :
Syarat-syarat tumbuhnya :
a.
Temperatur rata-rata setahun
kurang dari 25 oC
b.
Jumlah hujan setahun tinggi
c.
Menghendaki periode kering
berturut-turut sedikitnya 3 bulan
- Karet :
Syarat-syarat tumbuhnya :
a.
Terletak di daerah tropis
b.
Hujan merata sepanjang tahun
c.
Temperatur antara 25 oC
– 27 oC
(Saidja, 1982)
III. METODOLOGI
Praktikum acara IV
tentang menentukan iklim suatu tempat dilaksanakan pada Senin, 7 Oktober 2014 di
Laboratorium Agroklimatologi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM, dibutuhkan
bahan antara lain data curah hujan (CH) bulanan selama 10 tahun di suatu
tempat, data rerata suhu udara (T) bulanan, data tinggi tempat, dan data
pendukung pola tanam, vegetasi dominan dan tanah.
Data CH, T dan h
digunakan untuk analisis tipe iklim daerah setempat dengan sistem klasifikasi
Mohr, Schmidt-Fergusson, Oldeman dan Koppen.
Pada sistem
klasifikasi Mohr, tabel dibuat dengan kolom-kolom bulan, CH per tahun, CH
rerata dan derajat kebasahan bulan (DKB). Semua data dimasukkan ke dalam tabel,
kemudian dihitung curah hujan rerata dari bulan-bulan sejenis. Derajat
kebasahan bulan masing-masing curah hujan rerata ditentukan, kemudian
dimasukkan ke dalam kolom DKB. Dari kolom DKB, dihitung jumlah bulan kering
(BK), bulan lembab (BL) dan bulan basah (BB). Selanjutnya dapat ditentukan tipe
iklim daerah setempat menurut penggolongan Mohr.
Pada sistem klasifikasi Schmidt-Fergusson, tabel
dihitung dengan kolom-kolom bulan, CH per tahun dengan kolom DKB pada setiap
kolom tahun. Semua data dimasukkan ke dalam tabel, DKB tiap data ditentukan dan
dimasukkan ke dalam kolom DKB. Dihitung jumlah BK, BL dan BB selama 10 tahun.
Kemudian rerata BK, BL dan BB tiap tahun juga dihitung. Nilai Q dihitung dengan
rumus :
Q = Rerata
BK
Rerata BB
Dengan demikian, tipe iklim daerah setempat menurut penggolongan
iklim Schmidt-Fergusson dapat ditentukan.
Pada sistem
klasifikasi Oldeman, tabel dibuat dengan kolom-kolom seperti tabel sistem
klasifikasi Mohr. Semua data dimasukkan ke dalam tabel, kemudian DKB tiap data
ditentukan menurut kriteria Mohr. Jumlah rerata BK, BL dan BB dihitung ke dalam
bentuk angka bulat. Berdasarkan pembulatan tersebut, dapat ditentikan tipe
iklim daerah setempat dengan “sistem klasifikasi Agroklimat”.Penentuan tipe
iklim menurut kriteria Koppen didasarkan pada rerata suhu dan curah hujan
bulanan atau tahunan yang disusun dalam beberapa pernyataan yang disimbolkan
dengan beberapa huruf. Dari huruf-huruf tersebut, dapat ditentukan tipe iklim
suatu daerah.
Pada bab
pembahasan, perlu adanya uraian-uraian beberapa pendapat tentang masing-masing
klasifikasi yang telah ditentukan. Jika menggunakan acuan perlu dicantumkan
daftar pustaka. Masing-masing klasifikasi dibandingkan baik kelebihan maupun
kekurangannya. Kemudian diuraikan mengenai kesesuaian antara hasil analisis
dengan keadaan tanaman setempat ditinjau dari vegetasi dominan, pola tanam,
tanah, keadaan irigasi, dan tinggi tempat. Antara rerata T tahunan dengan T
Braak dibandingkan dan dihitung secara empiris.
Bahan dan Alat
- Data curah hujan (CH) bulanan selama 10 tahun di suatu tempat yaitu di suatu tempat.
- Data rerata suhu udara (T) bulanan.
- Data tinggi tempat.
- Data pendukung pola tanam, vegetasi dominan dan tanah.
Metode Kerja
Data CH, RH dan T untuk menganalisis tipe iklim daerah
setempat, menggunakan sistem klasifikasi Mohr, Schmidt-Ferguson, Oldeman dan
Koppen.
Sistem Klasifikasi Mohr
- Dibuat tabel dengan kolom-kolom bulan, CH pertahun, CH rerata dan derajad kebasahan bulan (DBK).
- Semua data dimasukkan ke tabel, hitunglah CH rerata dan bulan-bulan sejenis.
- DBK masing-masing CH rerata ditentukan, masukkan ke kolom DBK.
- Dan kolom DBB, dihitung jumlah bulan kering (BK), bulan lembab (BL) dan bulan basah (BB).
- Tipe iklim di daerah setempat ditentukan menurut penggolongan iklim Mohr.
Sistem Klasifikasi Schmidt-Ferguson
- Dibuat tabel dengan kolom-kolom bulan, CH pertahun dengan kolom DKB pada setiap kolom tahun.
- Semua data dimasukkan ke tabel, DKB tiap data ditentukan dan dimasukkan ke kolom DKB.
- Dihitung jumlah BK, BL dan BB selama 10 tahun.
- Dihitung rerata BK, BL dan BB tiap tahun.
- Dihitung nilai Q dengan menggunakan rumus :
Q =
- Tipe iklim daerah setempat ditentukan menurut penggolongan iklim Schmidt- Ferguson.
Sistem Klasifikasi Oldeman
a.
Dibuat tabel dengan kolom-kolom
seperti tabel sistem klasifikasi Mohr.
b.
Semua data dimasukkan ke dalam
tabel, DKB tiap data ditentukan menurut kriteria Oldeman.
c.
Dihitung jumlah rerata BK, BL
dan BB selama 10 tahun.
d.
Dibulatkan harga rerata BK, BL
dan BB ke dalam bentuk angka bulat.
e.
Berdasarkan pembulatan
tersebut, tipe iklim daerah setempat ditentukan menggunakan “sistem Klasifikasi
Agroklimat”.
Sistem Klasifikasi Koppen
a.
Dibuat uraian tentang
masing-masing klasifikasi.
b.
Dibandingkan masing-masing
sistem klasifikasi baik kelebihan maupun kekurangannya.
c.
Diuraikan kesesuaian antara
hasil analisis dengan keadaan tanaman setempat dari vegetasi dominan, pola
tanam, tanah, keadaan irigasi, dan tinggi tempat.
d.
Dibandingkan antara T braak
dengan rerata T tahunan yang dihitung secara empiris.
IV. HASIL PENGAMATAN
Nama Stasiun : Karang Ploso (Batu Malang)
Letak lintang : 7° LS
Elevasi : 720 mdpl
Tabel4.1. Data
curah hujan (mm)
Tahun
|
Jan
|
Feb
|
Mar
|
Apr
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Agst
|
Sept
|
Okt
|
Nov
|
Des
|
1998
|
90
|
262
|
357
|
129
|
36
|
28
|
20
|
0
|
0
|
106
|
147
|
172
|
1999
|
129
|
410
|
286
|
333
|
132
|
57
|
16
|
5
|
18
|
78
|
277
|
298
|
2000
|
245
|
326
|
307
|
134
|
57
|
31
|
10
|
0
|
0
|
23
|
275
|
387
|
2001
|
247
|
225
|
356
|
330
|
32
|
67
|
2
|
0
|
25
|
90
|
227
|
255
|
2002
|
425
|
433
|
323
|
120
|
45
|
40
|
18
|
7
|
2
|
87
|
198
|
287
|
2003
|
195
|
237
|
219
|
117
|
62
|
53
|
23
|
12
|
3
|
42
|
134
|
299
|
2004
|
326
|
307
|
234
|
143
|
67
|
50
|
5
|
1
|
0
|
10
|
257
|
234
|
2005
|
290
|
206
|
115
|
175
|
87
|
24
|
7
|
10
|
12
|
142
|
300
|
304
|
2006
|
354
|
329
|
268
|
19
|
12
|
7
|
0
|
0
|
0
|
5
|
121
|
359
|
2007
|
87
|
274
|
359
|
397
|
53
|
55
|
7
|
0
|
18
|
78
|
242
|
270
|
1.
Sistem klasifikasi Mohr
Mohr melakukan
klasifikasi berdasarkan curah hujan dengan melihat derajat kebasahan suatu
bulan.
Bulan kering (BK) : bulan dengan CH < 60 mm.
Bulan lembab (BL) : bulan
dengan CH 60 mm < CH > 100 mm
Bulan basah (BB) : bulan dengan CH > 100 mm
Tabel4.2.
Jenis Bulan Berdasarkan Klasifikasi Mohr
Tahun
|
Jan
|
Feb
|
Mar
|
Apr
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Agst
|
Sept
|
Okt
|
Nov
|
Des
|
1998
|
90
|
262
|
357
|
129
|
36
|
28
|
20
|
0
|
0
|
106
|
147
|
172
|
1999
|
129
|
410
|
286
|
333
|
132
|
57
|
16
|
5
|
18
|
78
|
277
|
298
|
2000
|
245
|
326
|
307
|
134
|
57
|
31
|
10
|
0
|
0
|
23
|
275
|
387
|
2001
|
247
|
225
|
356
|
330
|
32
|
67
|
2
|
0
|
25
|
90
|
227
|
255
|
2002
|
425
|
433
|
323
|
120
|
45
|
40
|
18
|
7
|
2
|
87
|
198
|
287
|
2003
|
195
|
237
|
219
|
117
|
62
|
53
|
23
|
12
|
3
|
42
|
134
|
299
|
2004
|
326
|
307
|
234
|
143
|
67
|
50
|
5
|
1
|
0
|
10
|
257
|
234
|
2005
|
290
|
206
|
115
|
175
|
87
|
24
|
7
|
10
|
12
|
142
|
300
|
304
|
2006
|
354
|
329
|
268
|
19
|
12
|
7
|
0
|
0
|
0
|
5
|
121
|
359
|
2007
|
87
|
274
|
359
|
397
|
53
|
55
|
7
|
0
|
18
|
78
|
242
|
270
|
∑
|
2388
|
3072
|
2824
|
1897
|
583
|
412
|
108
|
35
|
78
|
562
|
2178
|
2874
|
Rerata
|
238,8
|
307,2
|
282,4
|
189,7
|
58,3
|
41,2
|
10,8
|
3,5
|
7,8
|
56,2
|
217,8
|
287,4
|
DK
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BB
|
BB
|
Jumlah BB = 6
Jumlah BK = 6
Jumlah BL = 0
Keterangan :
Menurut Mohr, pada stasiun Karang Ploso (Batu
Malang ) termasuk iklim golongan II yaitu kering,
2.
Sistem Klasifikasi Schmidt dan
Ferguson
Tabel4.3. Jenis Bulan Berdasarkan
Klasifikasi Schmidt dan Ferguson
Tahun
|
Jan
|
Feb
|
Mar
|
Apr
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Ags
|
Sep
|
Okt
|
Nov
|
Des
|
Σ BB
|
Σ BK
|
Σ BL
|
1998
|
BL
|
BB
|
BB
|
BB
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BB
|
BB
|
BB
|
6
|
5
|
1
|
1999
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BL
|
BB
|
BB
|
7
|
3
|
2
|
2000
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BB
|
BB
|
6
|
6
|
0
|
2001
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BK
|
BL
|
BK
|
BK
|
BK
|
BL
|
BB
|
BB
|
6
|
3
|
2
|
2002
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BL
|
BB
|
BB
|
6
|
5
|
1
|
2003
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BL
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BB
|
BB
|
6
|
5
|
1
|
2004
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BL
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BB
|
BB
|
6
|
5
|
1
|
2005
|
BB
|
BB
|
BB
|
BB
|
BL
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BB
|
BB
|
BB
|
7
|
4
|
1
|
2006
|
BB
|
BB
|
BB
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BB
|
BB
|
5
|
7
|
0
|
2007
|
BL
|
BB
|
BB
|
BB
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BL
|
BB
|
BB
|
5
|
5
|
2
|
Jumlah
|
60
|
48
|
11
|
||||||||||||
Rerata
|
6
|
4,8
|
1,1
|
Q =
=0,8
Keterangan :
Berdasarkan besar rasio
yang diketahui, daerah Karang Ploso termasuk dalam iklim golongan D
(0,6<CH<1) yaitu daerah sedang, vegetasi hutan musim.
3.
Sistem klasifikasi Oldeman
Kriteria derajat kebasahan bulan
menurut Oldeman sebagai berikut :
Bulan basah (BB) : bulan dengan CH > 200 mm
Bulan lembab (BL) : bulan dengan CH 100
< CH > 200 mm
Bulan kering (BK) : bulan dengan CH < 100 mm
Tabel4.4. Klasifikasi Oldeman
Tahun
|
Jan
|
Feb
|
Mar
|
Apr
|
Mei
|
Juni
|
Juli
|
Agst
|
Sept
|
Okt
|
Nov
|
Des
|
1998
|
90
|
262
|
357
|
129
|
36
|
28
|
20
|
0
|
0
|
106
|
147
|
172
|
1999
|
129
|
410
|
286
|
333
|
132
|
57
|
16
|
5
|
18
|
78
|
277
|
298
|
2000
|
245
|
326
|
307
|
134
|
57
|
31
|
10
|
0
|
0
|
23
|
275
|
387
|
2001
|
247
|
225
|
356
|
330
|
32
|
67
|
2
|
0
|
25
|
90
|
227
|
255
|
2002
|
425
|
433
|
323
|
120
|
45
|
40
|
18
|
7
|
2
|
87
|
198
|
287
|
2003
|
195
|
237
|
219
|
117
|
62
|
53
|
23
|
12
|
3
|
42
|
134
|
299
|
2004
|
326
|
307
|
234
|
143
|
67
|
50
|
5
|
1
|
0
|
10
|
257
|
234
|
2005
|
290
|
206
|
115
|
175
|
87
|
24
|
7
|
10
|
12
|
142
|
300
|
304
|
2006
|
354
|
329
|
268
|
19
|
12
|
7
|
0
|
0
|
0
|
5
|
121
|
359
|
2007
|
87
|
274
|
359
|
397
|
53
|
55
|
7
|
0
|
18
|
78
|
242
|
270
|
∑
|
2388
|
3072
|
2824
|
1897
|
583
|
412
|
108
|
35
|
78
|
562
|
2178
|
2874
|
Rerata
|
238,8
|
307,2
|
282,4
|
189,7
|
58,3
|
41,2
|
10,8
|
3,5
|
7,8
|
56,2
|
217,8
|
287,4
|
DK
|
BB
|
BB
|
BB
|
BL
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BK
|
BB
|
BB
|
Jumlah BB = 5
Jumlah BK = 6
Jumlah BL = 1
Segitiga
Iklim Oldeman
Keterangan :
Menurut Oldeman, pada stasiun
Karang Ploso (Batu Malang ) termasuk iklim golongan zona D sub divisi 3.
4.
Sistem klasifikasi Koppen
T bulan terdingin = ….
CH bulan terkering = 1 mm
curah hujan terkering
< 60mm maka iklim hujan
tropika, dengan tipe iklim Aw
Pada
system klasifikasi dapat dilihat bahwa
curah hujan bulan terkering adalah 1mm, dikarenakan curah hujan terkering <
60mm maka iklim hujan tropika, dengan tipe iklim Aw.
Perhitungan
Curah hujan
terkering </>98,5
– R/25
1mm </>
98,5-(1701,1 / 25)
1 < 30,456
V.PEMBAHASAN
Klasifikasi Iklim dibagi menjadi dua yaitu klasifikasi
genetis dan klasifikasi empirik. Dalam praktikum ini klasifikasi iklim yang
akan digunakan adalah klasifikasi empirik. Klasifikasi empirik dibagi menjadi
dua yaitu klasifikasi berdasarkan klasifikasi berdasarkan Moesture Budget
(Thornthwaite) dan Klasifikasi berdasarkan pertumbuhan vegetasi alami.
Sedangkan yang akan dibahas dalam praktikum ini adalah klasifikasi berdasarkan
pertumbuhan vegetasi alami. Diantaranya klasifikasi Mohr, Schmidt and
Fergusson, Oldeman, dan Koppen.
Sistem Klasifikasi Mohr didasarkan pada hubungan antara penguapan dan
besarnya curah hujan, dari hubungan ini didapatkan tiga jenis pembagian bulan
dalam kurun waktu satu tahun dimana keadaan yang disebut bulan basah apabila
curah hujan >100 mm per bulan, bulan lembab bila curah hujan bulan berkisar
antara 100 – 60 mm dan bulan kering bila curah hujan < 60 mm per bulan. Pada
hasil pengamatan klasifikasi Mohr didapatkan daerah Karang Ploso (Batu Malang)
termasuk golongan iklim ke IV,dimana periode keringnya terjadi selama 6 bulan yang menandakan musim
kering mulai nyata. Hal ini disebabkan setelah periode bulan basah (Mei –
Oktober) merupakan bulan kering sehingga dapat disimpulkan musim kering
terlihat nyata. Klasifikasi ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
dari metode Morh yaitu pengklasifikasian iklim hanya didasarkan pada penguapan dan
besarnya curah hujan. Sehingga cara ini cukup praktis untuk mengamati iklim
suatu daerah selama 10 tahun. Data curah hujan bulanan dapat juga dijadikan
acuan pergeseran iklim tiap bulan. Kekurangan dari metode pada
pengklasifikasian didasarkan hanya rata-rata bulanan sehingga kurang sesuai
untuk memberi gambaran secara sempurna mengenai keadaan iklim Indonesia, selain
itu tidak mengikutsertakan sifat fisik suatu tanah yang dapat juga memberi
pengaruh pada penentuan iklim. Selain itu metode klasifikasi ini, tidak dapat
diketahui pergeseran iklim tiap tahun, sebab dasar penentuannya hanya dari
curah hujan sehingga hanya dapat digunakan untuk menentukan iklim dengan curah
hujan stabil dan periodik.
Sistem Klasifikasi Schmitd dan Fergusson, merupakan metode yang memiliki
kesamaan dengan sistem klasifikasi Mohr. Metode Schmitd-Fergusson didasarkan
pada bulan kering dan bulan basah. Berdeda dengan Mohr yang mencari bulan basah
dan bulan kering melalui harga rata-rata curah hujan untuk setiap bulan,
sedangkan Schmitd-Fergusson pencariannya bulannya untuk masing-masing satu
tahun. Hasil yang di dapat dari perhitungan data dari stasiun Karang Ploso
(Batu Malang). Rerata bulan basah tahun 1998 sampai 2007 berjumlah 6, bulan
kering 4,8 dan bulan lembab 1,1. Berdasarkan
rasio perhitungan yang dilakukan didapatkan hasil 0,8 hal ini menunjukkan pada
daerah tersebut termasuk dalam iklim golongan D, dimana nilai Q yang di
dapat > 0,6 dan < 1, pada golongan ini termasuk dalam daerah beriklim
sedang dengan vegetasi hutan musim. Kelebihan sistem klasifikasi ini adalah
mengetahui pergeseran iklim setiap tahun, mempermudah pengamatan dalam melihat
kapan terjadinya bulan kering dan bulan basah. Kekurangan klasifikasi ini,
adalah kriteria untuk bulan basah ataupun bulan kering untuk beberapa wilayah
terlalu rendah, hal ini akan terjadi kesulitan dalam mengelompokan bulan kering
dan bulan basah pada suatu daerah. Secara umum klasifikasi ini banyak dipakai
di bidang perkebunan dan kehutanan.
Sistem klasifikasi menurut Oldeman. Oldeman memakai dasar
unsur curah hujan dalam hubungannya dengan kebutuhan air tanaman, tanaman yang
digunakan adalah tanaman semusim yaitu padi dan palawija. Selain itu Oldeman
juga menggunakan penggolongan iklim seperti sistem klasifikasi Mohr dan
Schmitd-Fergusson. Hanya saja terdapat perbedaan penentuan batas curah hujan.
Pada metode Oldeman, bulan basah mempunyai curah hujan sekurang-kurangnya 200
mm, bulan lembab mempunyai curah hujan 100-200 mm, dan bulan kering mempunyai
curah hujan kurang dari 100 mm. Sistem klasifikasi Oldeman ini dibantu dengan
menggunakan ”Segitiga Agroklimat”. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan
bulan basah berjumlah 3, bulan kering 6, dan bulan lembabnya 1. Dalam
penggolongan menggunakan bantuan segitiga agroklimat daerah tersebut termasuk
dalam zona D. Dimana daerah tersebut memiliki jumlah bulan basah berurutan
sebanyak 3-4 bulan.
Gambar 4.1
Segitiga Agroklimat
Nilai
BB, BK, dan BL yang didapat saling ditarik garis lurus, sehingga akan ditemukan
satu titik potong pada zona tertentu yang menunjukkan subdivisi dari
klasifikasi Oldeman. Pada gambar ditunjukkan bahwa titik potong terdapat pada
subdivisi ketiga dimana periode bero atau masa mengistirahatkan lahan 1-2 bulan, tidak dapat dihindari namun penanaman dua jenis tanaman secara bergantian
masih mungkin bisa dilakukan.
Sistem klasifikasi iklim oleh Oldeman juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihannya yaitu pada caranya sudah lebih maju dibanding dengan
cara-cara sebelumnya pada klasifikasi Morh dan Schmitd-Fergusson. Hal ini
disebabkan sistem Oldeman sudah mempertimbangkan unsur cuaca yang lain seperti
radiasi matahari yang dihasilkan dengan kebutuhan air oleh tanaman
(Transpirasi-Evaporasi). Sehingga manfaat yang diadapt yaitu sudah dapat
memperkirakan pola tanam dengan keterkaitan antara iklim dan tanaman. Sedangkan, kekurangannya adalah sistem ini menjadikan curah hujan
sebagai salah satu indikatoe pentingnya. Sehingga, akan terdapat banyak
kesulitan dan kendala dalam menentukan wilayah yang mempunyai 4 musim. Selain
itu, sistem klasifikasi ini belum dapat menjelaskan pergeseran iklim bulanan.
Sistem
Klasifikasi Koppen, merupakan sistem klasifikasi iklim berdasarkan rerata suhu
dan curah hujan bulanan atau tahunan. Indikator yang digunakan adalah curah
hujan, radiasi matahari (suhu udara), dan kesesuaian lahan. Curah hujan pada
sistem Koppen ini diperoleh dengan merata-ratakan jumlah curah hujan yang
terjadi setiap bulannya. Sistem
klasifikasi iklim Koppen juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun
kelebihan sistem klasifikasi ini adalah terletak dalam penyusunan simbol-simbol
tipe iklim yang dengan tepat merumuskan sifat dan curah masing-masing tipe
iklim dengan tanda yang terdiri dari kombinasi beberapa huruf saja yang dapat
dengan tepat merumuskan sifat dan corak iklim suatu wilayah. Sedangkan,
kekurangan sistem klasifikasi iklim ini adalah jika diterapkan di Indonesia,
sistem ini kurang dapat menggambarkan kondisi detail iklim Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh besarnya perbedaan curah hujan wilayah-wilayah di Indonesia.
Walaupun, suhu udara tahunannya sama sepanjang tahun.
Klasifikasi iklim empirik dikembangkan sebagai bentuk
analisis iklim lanjut terhadap klasifikasi iklim genetik. Klasifikasi iklim ini
lebih menitikberatkan pada keadaan unsur-unsur iklim, atau beberapa karakter
alam yang berpengaruh terhadap keadaan iklim suatu daerah. Metode klasifikasi
ini memberikan hasil analisis iklim yang lebih akurat dan lebih dapat
menggambarkan iklim suatu daerah dengan tepat. Sebagai contoh, dibandingkan dua
daerah dengan jenis iklim yang sama menurut klasifikasi iklim secara genetik.
Jika kedua daerah ini memiliki persebaran curah hujan yang berbeda, maka dua
daerah ini akan dikatakan memiliki jenis iklim empirik yang berbeda pula. Ini
dikarenakan perbedaan persebaran curah hujan akan menyebabkan perbedaan kondisi
lingkungan terutama pada lamanya suatu daerah mengalami kekeringan, yang akan
menyebabkan perbedaan pada bagaimana tumbuhan beradptasi terhadap kekeringan
tersebut. Perbedaan tersebut tentu akan berpengaruh pula terhadap komposisi
vegetasi atau tanaman budidaya yang cocok dengan keadaan lingkungan pada setiap
daerah. Akan tetapi, penggunaan unsur-unsur iklim yang beragam sebagai
parameter klasifikasi akan menghasilkan wilayah iklim yang lebih sempit
daripada klasifikasi iklim genetik. Selain itu, hal tersebut juga memungkinkan
klasifikasi iklim empirik memiliki kompleksitas yang cukup besar. Untuk
mencegah hal tersebut, klasifikasi iklim empirik dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu klasifikasi iklim berdasarkan rational moisture budget yang
dikembangkan oleh Thornthwaite, dan klasifikasi iklim berdasarkan pertumbuhan
vegetasi alami.
Pada klasifikasi iklim Thornthwaite, kelembaban menjadi
penentu dalam penggolongan jenis iklim suatu daerah. Ini dapat dilihat dari
penggunaan data evapotranspirasi potensial dan moisture budget yang
berhubungan langsung dengan kelembaban tanah dan udara. Semakin tinggi
evapotranspirasi menunjukkan semakin tinggi pelepasan uap air ke udara oleh
tumbuhan dan lingkungannya. Jika terjadi hujan, banyaknya uap air yang
dilepaskan akan kembali ke lingkungan dan diserap oleh tanah menjadi kadar
lengas. Namun, kadar lengas ini akan cenderung berkurang dengan tingginya
potensi lingkungan untuk melepaskan uap air ke udara. Maka, semakin tinggi
potensi evapotranspirasi daerah, semakin kecil indeks kelembaban daerah
tersebut, dan semakin kering iklim daerah tersebut. Untuk daerah tandus atau
daerah dengan curah hujan yang rendah, analisis iklim dengan tipe klasifikasi
iklim Thornthwaite akan berpotensi cukup besar dalam menimbulkan kesalahan atau
ketidaktelitian, begitu pula dengan daerah yang basah atau bercurah hujan
tinggi. Ini dikarenakan pada daerah bercurah hujan rendah, akan diperoleh data
evapotranspirasi yang bernilai besar, sedangkan pada daerah bercurah hujan
tinggi akan sulit mendapatkan nilai evapotranspirasi. Kedua hal tersebut akan
menyulitkan dalam analisis dengan tipe klasifikasi ini.
Metode lain yang dapat diterapkan dalam klasifikasi
iklim empirik adalah pengklasifikasian berdasarkan pertumbuhan vegetasi alami.
Terdapat beberapa tipe klasifikasi berdasarkan vegetasi alami yang telah banyak
digunakan, seperti klasifikasi Mohr, Schmidt-Ferguson, Oldeman, dan Koppen.
Telah diketahui bahwa tumbuhan memiliki daya adaptasi terhadap kekeringan yang
berbeda-beda. Daya adaptasi ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan. Pada sistem klasifikasi ini, pengamatan terhadap
pertumbuhan vegetasi alami dilakukan melalui analisis data panjang periode
basah dan panjang periode kering, yang dapat diketahui dari persebaran curah
hujan dalam rentang waktu tertentu. Data yang menjadi bahan analisis dalam
klasifikasi ini biasanya berupa data curah hujan bulanan, yang telah terangkum
sebagai data tahunan atau data puluhan tahun. Dengan mengetahui panjang periode
basah dan periode kering, dapat diprediksikan bagaimana pertumbuhan vegetasi
alami pada suatu daerah, yang kemudian menjadi dasar klasifikasi iklim ini.
Jika diperhatikan, klasifikasi Mohr, Schmidt-Ferguson, dan Oldeman memiliki
satu kesamaan dalam penggunaan perbandingan jumlah bulan basah (bulan ketika
curah hujan tinggi), bulan lembab (bulan ketika curah hujan sedang), dan bulan
kering (bulan ketika curah hujan rendah). Dalam klasifikasi Mohr dan
Schmidt-Ferguson, derajat kebasahan bulan yang digunakan adalah di atas 100 mm
untuk bulan basah, di antara 60 mm sampai 100 mm untuk bulan lembab, dan di
bawah 60 mm untuk bulan kering. Sementara itu, derajat kebasahan bulan dalam
klasifikasi Oldeman adalah di atas 200 mm untuk bulan basah, di antara 100 sampai
200 mm untuk bulan lembab, dan di bawah 100 mm untuk bulan kering.
Perbedaan untuk setiap metode klasifikasi tersebut
terletak pada analisis data curah hujan bulanan untuk menentukan jenis iklim
suatu daerah. Pada klasifikasi Mohr, penggolongan iklim murni didasarkan pada
persebaran bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering. Dari penggolongan ini
didapatkan lima golongan iklim yaitu:
1.
Golongan I: daerah basah,
dengan persebaran bulan basah yang merata pada 9 – 12 bulan dalam satu tahun,
tidak ditemukan bulan kering, dan hanya terjadi bulan lembab pada 1 – 6 bulan
dalam setahun.
2.
Golongan II: daerah agak basah,
ada satu bulan kering yang diikuti 9 – 10 bulan basah, dan diikuti 1 – 2 bulan
kering lain, dapat dikatakan periode basah yang panjang terjadi hampir
sepanjang tahun dan hanya diputus oleh 1 – 3 bulan kering.
3.
Golongan III: daerah agak
kering, periode kering mulai meluas hingga 3 – 4 bulan dalam satu tahun.
4.
Golongan IV: daerah kering,
periode kering terjadi hingga 6 bulan, dapat dikenali gejala akan terjadinya
musim kemarau.
5.
Golongan V: daerah sangat
kering, dengan periode kering yang panjang dan kuat.
Klasifikasi Schmidt-Ferguson menggunakan data curah
hujan bulanan dengan derajat kebasahan yang sama dengan klasifikasi Mohr. Akan
tetapi, penggolongan iklim tidak didasarkan pada persebaran bulan basah, bulan
lembab, dan bulan kering secara utuh. Penggolongan iklim pada klasifikasi Schmidt-Ferguson
didasarkan pada perbandingan rerata jumlah bulan kering dengan bulan basah
untuk beberapa tahun tertentu. Perbandingan ini selanjutnya disimbolkan dengan
Q. Perhitungan tersebut menghasilkan delapan golongan iklim, yang dilengkapi
dengan kemungkinan jenis vegetasi yang terdapat pada daerah tersebut. Kedelapan
golongan iklim tersebut yaitu:
1.
Golongan A: daerah sangat basah
dengan vegetasi hutan hujan tropis, nilai Q yang diperoleh di antara 0 sampai
0,143.
2.
Golongan B: daerah basah dengan
vegetasi hutan hujan tropis, nilai Q yang diperoleh di antara 0,143 sampai
0,333.
3.
Golongan C: daerah agak basah
dengan vegetasi hutan rimba dengan beberapa tumbuhan bersifat deciduous
atau menggugurkan daun selama periode kering, nilai Q yang diperoleh di antara
0,333 sampai 0,6.
4.
Golongan D: daerah sedang
dengan vegetasi hutan musim, nilai Q yang diperoleh di antara 0,6 sampai 1.
5.
Golongan E: daerah agak kering
dengan vegetasi sabana, nilai Q yang diperoleh di antara 1 sampai 1,67.
6.
Golongan F: daerah kering
dengan vegetasi sabana, nilai Q yang diperoleh di antara 1,67 sampai 3.
7.
Golongan G: daerah sangat
kering dengan vegetasi hutan ilalang, nilai Q yang diperoleh di antara 3 sampai
7.
8.
Golongan H: daerah luar biasa
kering, nilai Q yang diperoleh di atas 7.
Klasifikasi iklim Oldeman kembali menggunakan persebaran
bulan basah, bulan lembab, dan bulan sedang sebagai parameter dalam
penggolongan iklim. Perbedaan klasifikasi ini dengan klasifikasi Mohr selain
terletak pada derajat kekeringan bulan yang digunakan, adalah klasifikasi
Oldeman memerhatikan adanya bulan basah yang berurutan dalam satu tahun.
Semakin banyak jumlah bulan basah yang berurutan yang dialami suatu daerah
dalam satu tahun, maka iklim daerah tersebut akan semakin basah. Dalam
klasifikasi Oldeman, syarat penanaman dalam pertanian mulai diperhatikan, dan
dijadikan salah satu parameter penggolongan iklim. Dengan mengetahui
penggolongan iklim menurut Oldeman ini kita dapat menuntukan waktu penanaman
yang cocok bagi suatu tanaman untuk mengurangi kerugian akibat anomali iklim.
Dengan metode tersebut, Oldeman menggolongkan zona iklim dengan bantuan
Segitiga Agroklimat, menurut jumlah bulan basah yang berurutan menjadi 5 tipe
iklim, yaitu :
1. Zona A :
daerah dengan 9 – 12 bulan basah berurutan.
2. Zona B :
daerah dengan 7 – 8 bulan basah berurutan.
3. Zona C :
daerah dengan 5 – 6 bulan basah berurutan.
4. Zona D :
daerah dengan 3 – 4 bulan basah berurutan.
5. Zona E :
daerah dengan kurang dari 3 bulan basah berurutan.
Zona-zona di atas masih dibagi dalam beberapa sub
divisi yang ditentukan oleh jumlah bulan kering berurutan
sepertti di bawah in:
1. Sub divisi 1 dengan BK 2 dan periode tanam
11- 12 bulan memungkinkan untuk penanaman pangan sepanjang tahun.
2. Sub divisi 2 dengan BK 2-3 dan periode
tanam 9-10 bulan, penanaman memerlukan perencanaan teliti untuk penanaman
sepanjang tahun.
3. Sub divisi 3 dengan BK 4-6 dan periode
tanam 3-5 bulan, pada sub divisi ini periode bero tidak dapat dihindari namun
penanaman 2 tanaman bergantian masih mungkin dilakukan.
4. Sud divisi 4 dengan BK 7 dan periode
tanamn 3 bulan, penanaman dilakukan tanpa tambahan air (irigasi), tidak sesuai
untuk tanaman pangan.
Klasifikasi Koppen tidak lagi
menggunakan derajat kebasahan sebagai parameter penggolongan iklim, tetapi ia
mendasarkan pada rerata suhu dan curah hujan bulanan atau tahunan. Rerata suhu
dapat dianggap sebagai efek dari keadaan beberapa unsur iklim yang terjadi di
daerah tersebut. Rerata suhu yang tinggi dapat diakibatkan oleh curah hujan
yang rendah, atau minimnya vegetasi. Vegetasi alami, terutama tumbuhan tingkat
tinggi, dapat beperan sebagai penghalang bagi naiknya uap air hasil
evapotranspirasi ke udara. Uap air yang “terperangkap” di antara vegetasi ini
dapat meminimalisir efek panas yang ditimbulkan dari insolasi matahari,
sehingga rerata suhu pada daerah dengan vegetasi alami yang masih terjaga
dengan baik cenderung lebih rendah. Selain sebagai efek, rerata suhu juga dapat
mengindikasikan kemungkinan-kemungkinan keadaan unsur iklim lain seperti
evapotranspirasi dan kelembaban, yang menjadi dasar klasifikasi Thornthwaite.
Dengan menggunakan rerata suhu sebagai parameter klasifikasi, klasifikasi
Koppen dapat dikatakan sebagai pengembangan dari metode-metode klasifikasi
empirik yang sebelumnya. Keunikan dari klasifikasi Koppen adalah adanya
pengkodean tipe iklim yang dapat mewakili hampir seluruh sifat dan corak dari
setiap jenis iklim. Kode atau simbol yang diberikan berupa kombinasi beberapa
huruf, dengan huruf pertama menyatakan tipe utama, huruf kedua menyatakan pengaruh
curah hujan, huruf ketiga menyatakan suhu udara, dan huruf keempat menunjukkan
ciri-ciri lain untuk jenis-jenis iklim tertentu. Dengan sistem pengkodean ini,
klasifikasi Koppen dapat mendeterminasi hampir semua jenis iklim hanya dengan
berpatokan pada penggabungan antara klasifikasi iklim secara genetik dan curah
hujan, melalui pengaruh yang ditunjukkan dengan rerata suhu sebagai parameter
utamanya.
Indonesia terletak pada daerah
tropis, yang menyebabkan seluruh daerah di Indonesia menerima insolasi matahari
maksimal sepanjang tahun. Akan tetapi, karakter topografis Indonesia yang
beragam membuat setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khasnya masing-masing.
Beberapa daerah di Indonesia mungkin memiliki curah hujan yang tinggi, vegetasi
alami yang lebat, dan karakter tanah yang memungkinkan untuk penanaman berbagai
jenis komoditas pertanian, tetapi terdapat pula daerah yang sangat kering
bahkan mengalami kesulitan dalam memperoleh air. Untuk mengetahui jenis-jenis
iklim setiap daerah di Indonesia, dibutuhkan metode analisis dan klasifikasi
yang mampu mencakup berbagai karakter seluruh daerah di Indonesia. Metode
tersebut diharapkan mampu memberikan hasil analisis yang akurat jika diterapkan
pada deaerah yang memiliki ekstrimitas tertentu. Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan di atas, metode klasifikasi Koppen dinilai cocok untuk menganalisis
serta menentukan jenis-jenis iklim di Indonesia. Hal ini disebabkan metode
klasifikasi Koppen mendasarkan penggolongannya pada rerata suhu yang dapat
menjadi parameter paling tepat untuk penentuan iklim. Dengan mengetahui rerata
suhu, dapat diperkirakan bagaimana komposisi dan keadaan vegetasi daerah, dan
curah hujan daerah sebagai penyebab perolehan rerata suhu, serta potensial
evapotrasnpirasi dan efektifitas curah hujan untuk pertanian sebagai danpak
dari rerata suhu yang diperoleh. Dengan demikian,
berbagai karakter unsur iklim dapat diperoleh dengan satu metode saja.
VI. KESIMPULAN
1. Klasifikasi iklim dapat diperoleh dengan analisis
data anasir iklim CH (curah hujan), T (suhu) dan h (ketinggian) dengan metode
empirik.
2. Dengan mengetahui klasifikasi iklim suatu tempat,
dapat ditentukan pula jenis tanaman yang sesuai untuk dibudidayakan di tempat
tersebut.
3. Tipe iklim stasiun Karang Ploso
(Batu Malang) menurut Mohr termasuk
dalam golongan IV karena bulan kering (BK) terjadi
selama 6 bulan secara berturut-turut.
4. Tipe iklim stasiun Karang
Ploso (Batu Malang) menurut Schmidt dan Ferguson
adalah golongan D yaitu daerah sedang,
vegetasi hutan musim.
5. Tipe iklim stasiun Karang
Ploso (Batu Malang) menurut Oldeman termasuk iklim golongan zona D sub divisi 3.
DAFTAR PUSTAKA
Bey, A dan Irsal, L. 1991. Strategi
Pendekatan Iklim dalam Usaha Tani. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi,
Dirjen Pendidikan Tinggi.
Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi.
Institut Teknologi Bandung Press, Bandung.
Saidja, A. 1982. Klimatologi. Bharata Karya
Aksara, Jakarta.
Sutarno,
M.T. 1998. Klimatologi Dasar. UPN “Veteran” Press, Yogyakarta.
Sutrisno
dan Sumiratno. 1983. Model Analisis Air Tanah. Prosiding Seminar Berkala
Meteorologi dan Geofisika Desember 2 April 2003. Departemen Perhubungn Badan
Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Trewartha, G. T and L. H. Horn. 1980. An
Introduction to Climate5 th edition. Mc Graw-Hill Book Company
Inc, Madison.
Wisnubroto, S., Siti Leca, A., Mulyono, N.
1983. Asas-asas Meteorologi Pertanian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Wisnubroto, S. 1999. Meteorologi
Pertanian Indonesia. Mitra Gama Widya, Yogyakarta .
0 comments:
Post a Comment