BERDIRINYA
satu organisasi pasti mempunyai latar belakang Sejarah, yang satu sama lain
berbeda, tetapi justru perbedaan itulah yang menempatkan organisasi itu pada
ciri-ciri khusus atau karakteristik.
HMI
sebagai organisasi Islam, tentu saja selalu seiring dengan gerakan perkembangan
Agama Islam sebagai Agama perjuangan, dan inilah yang menentukan dan mengilhami
kelahiran HMI. Situasi umum sebelum kelahiran HMI, seperti akan dituturkan di
bawah ini, merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya HMI.
A. Situasi
Negara Republik Indonesia
Kedatangan Bangsa
Inggris, Portugis, Spanyol, dan Belanda ke Indonesia, di samping sebagai
penjajah, adalah sekaligus merupakan pembawa “Missi dan Zending” yang membawa
serta peradaban Barat.
Peradaban Barat
itu mempunyai ciri politis “Scularisme” dan ciri ekonomi “Liberalisme”. Proses pem-Baratan
(“Westernisasi”) ini turut pula mempengaruhi perkembangan masyarakat dan Negara
Republik Indonesia, yang oleh Kolonial Belanda dengan penjajahannya di bumi
Indonesia selama 350 tahuun, ditanamkan dengan penuh kelicikan, bahkan
dipaksakan dengan senjata terhunus.
Namun, arus
gelombang perang kemerdekaan dari bangsa-bangsa di dunia, khususnya di dunia
Islam, yang sejak abad kedelapan belas dilanda banjir kolonialisme dan
imperalisme sekaligus telah melanda bangsa-bangsa Asia-Afrika, telah membuat
perubahan yang radikal terhadap jalannya sejarah dunia yang diilhami aspirasi
dan potensi perjuangan Islam pada bangsa-bangsa tersebut. Pada abad-abad
berikutnya sampai sekarang, segala tenaga, biaya, dan perhatian dikerahkan
untuk membebaskan diri dari perhambaan Barat itu.
Inspirasi dari
Nasionalisme islam ini menggugah bangsa-bangsa terjajah dan umat tertindas, kemudian
terungkap dalam semboyan/pekikan jihad “ALLOHU AKBAR” disertai tekad “Merdeka
atau Mati”.
Tidak terkecuali
Bangsa Indonesia. Ia ingin lepas dari rantai belenggu penjajah, ingin mempunyai
kedaulatan sendiri sebagaimana bangsa-bangsa lain. Di tengah bahana perjuangan
itu, terdengarlah suara gemuruh, laksana halilintar di tengah malam gelap gulita.
Suara yang terdengar itu adalah “Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia” yang
diucapkan Prokklamator Dwi Tunggal Soekarno-Hatta di Pegangsaan Timur 56,
Jakarta tanggal 17 Agustus 1945.
Akan tetapi,
karena keserakahan penjajah yang ingin kembali menguasai Nusantara dengan missi
zendingnya, tentara sekutu (Inggris), di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir
Philip Christison, Panglima Besar AFNEI (Allied Forces Netherlands East
Indies), yang terdiri dari 3 divisi, dengan membonceng bala tentara Belanda di
belakang, mendarat di Jakarta tanggal 29 September 1945.
Karena tekad
dari segenap rakyat Indonesia yag tidak mau dijajah lagi oleh siapa pun, maka
di mana-mana berkecambuklan kembali peperengan-peperangan seru antara Inggris
dan Belanda dengan segenap rakyat dan bangsa Indonesia, Terkenallah pertempuran
5 hari di Semarang, di Siantar Hotel, dan di Padang, 15 Oktober 1945. Pertempuran
Kota Baru Yogyakarta, 7 Oktober 1945, pertempuran 10 November 1945 selama 15
hari berturut-turut di Surabaya, yang semuanya itu dilandasi dengan semangat
jihad fi Sabilillah.
Inilah sebabnya,
tiap-tiap panggilan rakyat selalu didahului dengan pekikan “ALLAHU AKBAR” tiga
kali, yang digunakan untuk menyerukan jihad. Mereka mengetahui dan mengakui
kalimat itulah satu-satunya yang bisa menembuske dalam dada dan hati sanubari
umat. Apakah gerangan yang menyebabkan bangsa Indonesia tidak mau mendalam
gerak dan getaran kalbunya, jika tidak dengan kalimat Toyyibah tersebut.
Semboyan “Lebih
baik mati syahid daripada hidup hina karena dijajah”, “Lebih baik hancur binasa
daripada dijajah kembali”, merupakan penambah semngat dan kekuatan yang ampuh
bagi tentara dan para gerilyawan yang berjuang di medan jihad.
Bangsa Indonesia
tidak suka dijajah bangsa asing mana pun, apalagi yang dijajah itu keyakinan
hidupnya dan anutan kepercayaannya, yaitu Agama Islam.
Karena Jauh
sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, Agaman Islam telah menjadi Agama
dari sebagian besar penduduk pribumi kepulauan Indonesia.
Seperti dikatakan
Kardinal Uskup-uskup Katolik di kota Vatikan, menyatakan bahwa:
“Agama Kristen tampak sebagai suatu Agama
Impor di Asia” , dan kenyataan bahwa Agama Kristen adalah Agama minoritas
di Asia, dibandingkan dengan penganut-penganut dari agama-agama lain.
Berkat kebulatan
tekad itulah, segenap rakyat dan bangsa Indonesia berjuang tanpa pamrih. Apapun
yang terjadi, dan apapun yang akan diberikan kepada Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945 wajib disumbangkan. Proklamasi 17 Agustus 1945 harus dipertahankan
sampai titik darah yang penghabisan, berupa satu tuntutan mutlak “Kedaulatan
Rakyat” harus diserahkan sepenuhnya kepada bangsa Indonesia sebagai pemilik dan
penguasa tunggal di negeri yang permai nan kaya raya ini.
Sumber
: Buku SEJARAH PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (1947-1975)
0 comments:
Post a Comment