9/11/15

LAPORAN RESMI KLIMATOLOGI ACARA II PENGAMATAN CUACA MIKRO

ACARAII
PENGAMATAN CUACA MIKRO
I. PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Cuacaadalah kondisi atmosfer sesaat (jangka pendek) beserta perubahan yang terjadi. Sedangkan  Iklim adalah Iklim mikro adalah kondisi cuaca dalam lingkunganatmosfer terbatas sebatas lingkungan tanaman atau di sekitar permukaan tanah. Keadaan iklim dan cuaca sangat mempengaruhi tanaman karena antara tanaman dan cuaca memiliki interaksi diantara keduanya. 
Tanaman membutuhkan keadaan cuaca dan iklim tertentu untuk dapat tumbuh berkembang dengan baik sehingga didapatkan hasil yang maksimal.Cuaca dan iklim mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pertanian. Sebab dalam proses pembentukkan hasil pertanian sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan disekitar tanaman tumbuh. Cuaca dan iklim tidak hanya berpengaruh terhadap kegiatan manusia dalam usaha pertanian, tetapi juga dalam hal tempat tinggal, makanan  dan kebudayaan serta dalam aspek kehidupan yang lain. Adapun manfaat-manfaat penting dalam mempelajari iklim yang ada di Indonesia dalam kegiatan pertanian yaitu  mengetahui hubungan iklim dan pertanian mengeksplorasi potensi iklim untuk perencanaan intensifikasi dan ekstensifikasi produksi, dapat menentukan kebijakan pengelolaaan usaha tani (pola tanam, irigasi, pemupukan, tindakan modifikasi, dan lainnya).
Iklim mikro dapat berpengaruh pada tanaman. Pengaruh yang sederhana contohnya yaitu kondisi udara dibawah pohon yang rindang pada saat matahari bersinar penuh. Keadaan udara di bawah pohon tersebut lebih sejuk, lembab dan teduh. Lebih sejuk karena energi cahaya matahari berkurang intensitasnya untuk memanaskan udara di bawah pohon terhalang oleh daun-daun pohon. Lebih teduh karena intensitas cahaya matahari sebagian besar terhalangin dan tidak bias tertembus oleh kanopi pohon tersebut. Selain menurunkan intensitas cahaya langsung dan suhu, pohon dan semak dapat pula mempertinggi kelembaban udara dan dapat mengurangi kecepatan angin. Peran pepohonan untuk mengurangi kecepatan angin ini besar manfaat kehadirannya pada budidaya tanaman semusim dan tanaman hortikultura yang gampang roboh.
Cuaca dan iklim tidak hanya mempengaruhi perkembangan tanaman tapi juga berpengaruh pada kegiatan manusia dalam usaha pertanian tempat tinggal, makanan dan kebudayaan. Saat ini manusia belum mampu merekayasa iklim secara luas, untuk itu ilmu pengetahuan tentang cuaca dan iklim sangat diperlukan dalam bidang pertanian.Unsur-unsur cuaca yang berpengaruh terhadap pertanian adalah keadaan cuaca, angin, awan, suhu udara dan suhu tanah, kelembaban udara, tekanan udara, curah hujan, dan lamanya penyinaran matahari. Unsur-unsur tersebut dapat diamati dengan alat-alat tertentu dan hasil-hasil pengamatan tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan keadaan-keadaan alam yang berhubungan dengan pertanian. Sehingga dapat digunakan untuk menentukan langkah yang sesuai dalam melakukan kegiatan pertanian.

B. TUJUAN
1. Mengenal cara- cara mengukur anasir cuaca mikro.
2. Mengetahui faktor- faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro
3. Mengetahui cuaca mikro pada berbagai ekosistem.
























II. TINJAUAN PUSTAKA
Iklim mikro adalah kondisi iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas sampai batas kurang lebih setinggi dua meter dari permukaan tanah. Iklim mikro merupakan iklim dalam ruang kecil yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti hutan, rawa, danau, dan aktivitas manusia. Keadaan unsur-unsur iklim ini akan mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang berlangsung pada tubuh makhluk hidup, sebaliknya keberadaan makhluk tersebut (terutama tumbuhan) akan pula mempengaruhi keadaan iklim mikro di sekitarnya. Pengaruh lingkungan terhadap iklim mikro misalnya terhadap suhu udara, suhu tanah, kecepatan arah angin, intensitas penyinaran yang diterima oleh suatu permukaan, dan kelembaban udara (Holton, 2004).
Pengetahuan tentang sifat-sifat benda atau bahan sehubungan dengan kemampuannya untuk menyerap, memantulkan, atau meneruskan radiasi matahari serta kemampuannya dalam menyerap dan menahan air, sering dimanfaatkan menusia dalam usahanya untuk memodifikasi iklim mikro. Modifikasi iklim mikro sering dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi manusia atau untuk menciptakan lingkungan yang lebih optimal (atau paling tidak lebih baik) untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pendekatan lain untuk memodifikasi iklim mikro yang dilakukan manusia diantaranya adalah dengan merubah kelembaban udara, dan temperature (Nawawi, 2001).
Perbedan antara iklim mikro dan iklim makro, terutama disebabkan oleh jarak dengan permukaan bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat disebabkan oleh macam tanah, yaitu tanah hitam, tanah abu-abu, tanah lembek, dan tanah keras, oleh bentuk yaitu bentuk konkaf (lembah), bentuk konveks (gunung) dan danau, kemudian juga ditentukan oleh tanam-tanaman yang tumbuh diatasnya, yaitu rawa, hutan dan lain-lain. Setelah itu juga dipengaruhi oleh jumlah radiasi dan profil angin yang terakhir dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu daerah industri, kawasan kota, pedesaan, dan sebagainya. Sebenarnya diantara iklim makro dan iklim mikro terdapat iklim meso, akan tetapi istilah iklim meso kurang umum dipakai dan dimengerti sehingga istilah meso klimatologi sangat jarang dijumpai dalam pustaka (Tjasjono,1999).
Anasir terpenting dalam kajian iklim mikro meliputi radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, penguapan (evaporasi dan transpirasi) dan kecepatan angin. Radiasi adalah proses energi dipindahkan oleh gelombang elektromagnetik dari benda yang satu ke benda yang lain tanpa adanya medium perantara. Energi matahari sampai ke bumi dalam bentuk radiasi dalam bentuk gelombang pendek yang diradiasikan kembali oleh bumi dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Bagian radiasi yang sampai ke bumi disebut insolasi. Radiasi matahari maksimum tercapai pada saat matahari tegak lurus permukaan tanah (Lansberg, 1981).
Perubahan suhu dan kelembaban udara sebagai indikator perubahan neraca energi  berkaitan dengan transfer atau perpindahan panas pada medium udara dan kelembaban  serta transfer atau perpindahan uap air yang dikenal sebagai evaporasi atau evapotranspirasi. Kelembaban udara menyatakan banyaknya air dalam udara. Kelembaban relatif adalah perbandingan antara uap air dalam udara tersebut. Jika temperatur dan tekanan yang sama udara tersebut jenuh dengan uap air. Adanya perbedaan pola perubahan suhu dan rata- rata kelembaban udara merupakan indikasi telah terjadinya perubahan kesetimbangan energi (Martono, 2006).
Kecepatan angin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain gradien tekanan horizontal, ketinggian tempat, dan letak geografis.Temperatur di dalam tanah dikendalikan oleh tempertatur permukaannya. Seluruhnya sangat tergantung pada keadaan cuaca di atas permukaan. Temperatur permukaan tanah lebih peka daripada temperatur udara mengubah cuaca. Lapisan tanah yang pertama yang sangat besar variasi temperaturnya disebut lapisan tanah dasar, analog dengan lapisan dasar atmosfer (McAlister et al., 2005).


















II      METODOLOGI
Pengamatan cuaca mikro pada acara 2 ini dilaksanakan pada hari Senin 22 September 2014 di lembah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dimulai pukul 14.00 WIB yang dilakukan di dua daerah yang berbeda yaitu daerah berkanopi dan daerah tanpa kanopi.
Alat-alat yang digunakan pada pengamatan ini adalah termometer untuk mengukur suhu udara, termohigrometer untuk mengukur kelembaban nisbi udara, luxmeter untuk mengukur intensitas cahaya, digital anemometer untuk mengukur kecepatan angin, stick termometer untuk mengukur suhu  tanah, statif untuk menggantung termometer. Dua tempat yang memiliki keadaan yang berbeda yaitu daerah yang berkanopi dan daerah tanpa kanopi dipilih untuk mengadaakan percobaan pengamatan cuaca mikro. Langkah yang ditempuh adalah statif ditancapkan ke tanah dan dipasang dengan termometer pada aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukaan tanah. Pengamatan diukur setiap 10 menit sehingga mencapai 5 kali pengamatan. Stick termometer ditancapkan di tanah pada jeluk 0 cm, 10 cm, dan 20 cm dari permukan tanah. Pengamatan dilakukan pada setiap jeluk pada setiap pengambilan data setiap 10 menit sekali dengan 5 kali pengulangan, 10 menit pertama dilakukan pada jeluk 0cm, setelah itu dimasukkan hingga mencapai jeluk 10 cm, setelah sepuluh menit dicatat lagi hasilnya pada tebel pengamatan. Digital anemometer diangkat ke atas agar tidak terhalang dengan penghalang. Lalu dilihat angka yang tertera pada digital anemometer. Pada pengukuran intensitas cahaya digunakan luxmeter. Alat ini memiliki tiga skala dengan tombol pengatur di sebelah kanannya. Mula-mula diatur pada skala yang paling rendah dengan posisi tombol pengatur ada di paling bawah, apabila jarum penunjuk melebihi batas skala maka tombol dinaikkan dan pembacaan skala berubah dengan membaca skala di atas skala yang sebelummya dibaca. Sensor cahaya berada di atas Luxmeter jika sudah tidak digunakan maka ditutup kembali agar terlindung dari sinar matahari sehingga tidak terjadi pengukuran intensitas cahaya. Pengamatan kecepatan angin dan intensitas cahaya di lakukan sebanyak 5 kali pengulangan setiap 10 menit.









IV. HASIL PENGAMATAN

Hari, tanggal   : Senin,22 September 2014
Golongan        : A1
Kelompok       : 5
Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Iklim Mikro
PARAMETER
NO
TITIK WAKTU PENGAMATAN
ARAS / JELUK PENGAMATAN
STRATA
KANOPI
TANPA KANOPI
SUHU UDARA
1
10 ‘
25 cm
320C
34,5 0C
75 cm
310C
33 0C
150 cm
320C
340C
2
20’
25 cm
320C
330C
75 cm
300C
320C
150 cm
320C
340C
3
30’
25 cm
320C
330C
75 cm
300C
330C
150 cm
31,50C
310C
4
40’
25 cm
320C
330C
75 cm
300C
340C
150 cm
31,80C
320C
5
50’
25 cm
31,80C
320C
75 cm
300C
310C
150 cm
31,50C
340C
KELEMBABAN NISBI UDARA
1
10’
25 cm
30 %
27%
75 cm
31%
27%
150 cm
31%
26%
2
20’
25 cm
32%
31%
75 cm
32%
31%
150 cm
32%
31%
3
30’
25 cm
31%
32%
75 cm
31%
31%
150 cm
31%
31%
4
40’
25 cm
31%
32%
75 cm
30%
31%
150 cm
30%
31%
5
50’
25 cm
32%
33%
75 cm
31%
33%
150 cm
32%
32%
SUHU TANAH
1
10’
0 cm
31,10C
30,80C
10 cm
31,30C
30,20C
20 cm
31,50C
31,10C
2
20’
0 cm
31,40C
30,80C
10 cm
31,60C
30,50C
20 cm
31,40C
30,10C
3
30’
0 cm
30,10C
30,50C
10 cm
30,50C
30,10C
20 cm
30,60C
29,80C
4
40’
0 cm
300C
30,70C
10 cm
30,50C
30,20C
20 cm
30,60C
29,10C
5
50’
0 cm
30,30C
31,30C
10 cm
30,30C
30,90C
20 cm
30,50C
30,6 0C
KECEPATAN ANGIN
1
10’

2,5 m/s
1,5m/s
2
20’

2,0 m/s
5,2 m/s
3
30’

1,6 m/s
3,0 m/s
4
40’

0,5 m/s
3,4 m/s
5
50’

0,4 m/s
4,4 m/s
INTENSITAS PENYINARAN
1
10’

60
220
2
20’

50
220
3
30’

55
220
4
40’

70
240
5
50’

60
200


V. PEMBAHASAN

A. Suhu udara
            Suhu udara merupakan salah satu anasir iklim yang diukur dalam pengukuran iklim mikro. Tinggi rendahnya suhu udara suatu daerah dipengaruhi oleh insolasi pada daerah tersebut. Ini disebabkan radiasi sinar matahari datang ke permukaan bumi sebagai cahaya dan energi panas. Semakin besar insolasi yang diterima suatu daerah, akan semakin besar pula energi panas yang diterima daerah tersebut. Hal ini yang menyebabkan suhu udara daerah tersebut meningkat. Insolasi yang terhalangi, menyebabkan suhu udara menjadilebih rendah. Oleh karena itu, daerah yang ternaungi, atau memiliki kanopi, akan memiliki suhu udara yang rendah. Kanopi tersebut dapat berupa pepohonan atau kanopi buatan. Dalam hal ini, awan juga dapat menghalangi insolasi matahari ke suatu daerah. Selain insolasi, suhu udara juga dipengaruhi oleh ketinggian suatu daerah. Semakin tinggi suatu daerah, maka semakin rendah suhu udara. Penurunan suhu udara yang diikuti kenaikan ketinggian tempat disebut sebagai gradien suhu.
            Sementara itu, suhu udara mempengaruhi beberapa anasir iklim mikro yang lain, seperti suhu tanah, arah angin, dan kelembaban udara. Pengaruh suhu udara terhadap arah angin dapat diketahui dari proses terjadinya angin darat dan angin laut di daerah pantai. Dalam proses tersebut, semakin tinggi suhu udara akan menyebabkan semakin rendah kerapatan udara, dan tekanan udara menjadi rendah. Tekanan udara inilah yang menentukan arah angin. Sedangkan pengaruh suhu udara terhadap kelembaban udara dapat diketahui dari proses penguapan yang lebih cepat terjadi pada suhu tinggi. Bertambah cepatnya proses penguapan ini akan menyebabkan jumlah uap air dalam udara bertambah, dan menyebabkan kenaikan kelembaban pada suatu daerah. Akan tetapi, pada daerah berkanopi, uap air yang naik akan terhalang oleh kanopi, sehingga menyebabkan uap air seolah terkumpul di udara.
            Dalam praktikum ini, pengukuran suhu udara dilakukan di daerah yang berkanopi dan tidak berkanopi. Pada setiap daerah, dilakukan tiga pengukuran pada setiap aras dari permukaan tanah, yaitu 25 cm, 75 cm, dan 150 cm. Pengukuran ini dilakukan setiap sepuluh menit sebanyak lima kali. Hal ini dilakukan sebagai pembanding, dan untuk mengetahui apakah ada perbedaan suhu yang terjadi pada setiap aras dan setiap waktu pada daerah berkanopi dengan daerah tidak berkanopi. Ketiga perbedaan tersebut dimungkinkan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya suhu udara suatu daerah. Hasil pengukuran tersebut ditampilkan dalam bentuk grafik.











Grafik 2.1 Suhu udara pada aras 25 cm berkanopi dengan daerah tidak berkanopi.
            Grafik di atas dapat terlihat bahwa suhu udara pada daerah berkanopi lebih stabil daripada daerah tidak berkanopi, sedangkan pada daerah berkanopi suhu pada menit pertama tinggi tetapi pada menit ke-20, 30, 40 suhu udara stabil pada 320C, dan mengalami penurunan pada menit ke-50. Suhu udara pada daerah yang berkanopi lebih rendah daripada daerah tidak berkanopi.Hal ini dipengaruhi oleh suhu tanah sebab jarak antara termometer dengan tanah hanya sedikit. Pada daerah tidak berkanopi intensitas cahaya matahari yang menuju tanah semakin besar dan mengakibatkan kenaikan suhu pada tanah, sedangkan daerah yang berkanopi intensitas cahaya terhalang oleh pohon-pohon berkanopi yang menyebabkan suhu tanah di daerah ini lebih rendah. Sehingga yang faktor yang mempengaruhi dari suhu tanah ini yaitu intensitas cahaya matahari dan suhu tanah.












Grafik 2.2Suhu udara pada aras 75 cm berkanopi dengan daerah tidak berkanopi.
Grafik perbandingan suhu udara pada aras 75 cm di atas, menunjukkan kestabilan suhu udara pada daerah berkanopi yang lebih baik daripada daerah tidak berkanopi sama dengan pada aras 25 cm. Fluktuasi udara yang lebih tajam pada aras 75 cm, baik pada daerah berkanopi maupun tidak berkanopi, disebabkan oleh kenaikan aras yang memperbesar kemungkinan terpengaruhnya suhu udara oleh anasir iklim lain. Suhu udara pada daerah berkanopi lebih rendah daripada daerah tidak berkanopi. Pada daerah berkanopi, suhu relatif lebih stabil daripada di daerah tidak berkanopi. Hal ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari yang lebih sedikit dibandingkan daerah tidak berkanopi. Selain itu, daerah berkanopi mendapatkan penurunan suhu dari pergerakan angin sedangkan daerah tidak berkanopi mendapatkan panas dari angin yang bergerak dari daerah berkanopi. Sedangkan pada daerah yang berkanopi terjadi kenaikan suhu karena mendapat pengaruh intensitas radiasi matahari maksimum.






Grafik 2.3 Suhu udara pada aras 150 cm berkanopi dengan daerah tidak berkanopi.
            Pada grafik ini, terlihat bahwa kestabilan suhu udara pada daerah berkanopi lebih baik daripada daerah tidak berkanopi. Semakin tajamnya fluktuasi suhu pada daerah tidak berkanopi disebabkan oleh kenaikan aras. Rerata suhu udara pada daerah berkanopi lebih rendah daripada suhu udara pada daerah tidak berkanopi. Hal ini disebabkan pada daerah berkanopi suhu tanah sudah tidak berpengaruh karena pada aras 150 lebih tinggi dibandingkan aras 25 dan aras 75, sehingga suhu udara yang terdapat pada lingkungan tersebut konstan. Sedangkan pada daerah tidak berkanopi pada menit ke-10 dan 20 memiliki rerata yang sama tetapi pada menit ke-30 dan 40 mengalami penurunan, hal ini mungkin diakibatkan anasir iklim, berupa pergerakan angin yang memiliki suhu rendah, dan hanya melintas sesaat.

















Grafik 2.4 Suhu udara berkanopi dalam aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm.
Grafik Perbandingan suhu udara pada daerah berkanopi menunjukkan bahwa suhu udara di daerah berkanopi tidak mengalami perubahan yang berarti selama waktu pengamatan, kecuali pada aras 75 cm di atas permukaan tanah, pada titik terjadinya perubahan suhu hingga 1ºC di menit ke-20, yang merupakan selisih suhu terbesar. Rerata suhu tertinggi diperoleh pada aras 25 cm di atas permukaan tanah, dan rerata suhu terendah terdapat pada aras 75 cm di atas permukaan tanah. Kemungkinan, terjadinya angin yang cukup kencang pada waktu pengamatan mempengaruhi perolehan suhu udara pada setiap aras. Meskipun demikian, suhu udara pada daerah berkanopi tetap stabil akibat adanya kanopi berupa pepohonan sebagai penghalang insolasi dan uap air yang naik. Akibatnya, terjadi semacam keseimbangan antara suhu yang tinggi dengan jumlah uap air yang tersedia sehingga suhu udara yang diukur dan dirasakan tidak terlalu tinggi. Suhu udara yang diperoleh seiring waktu pengamatan cenderung menurun sebagai efek berkurangnya insolasi matahari, meskipun efek tersebut tidak menyebabkan perubahan yang tajam pada daerah ini. Insolasi matahari dapat disebabkan oleh panjangnya siang hari, keadaan atmosfer, sudut datang sinar matahari dan konstate matahari.

Grafik 2.5 Suhu udara tidak berkanopi dalam aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm.
            Pada grafik ini, terlihat bahwa suhu udara pada daerah tidak berkanopi tidak stabil. Tidak tersedianya kanopi menyebabkan suhu udara di daerah ini terkena pengaruh langsung dari insolasi matahari. Seperti diketahui, insolasi maksimal tejadi pada pukul 13.00 sampai 15.00, dan ini bertepatan dengan waktu pengukuran dilaksanakan. Selain insolasi matahari, adanya anasir iklim lain seperti angin juga memberi pengaruh langsung terhadap suhu udara di daerah tidak berkanopi, terutama pada aras 150 cm di atas permukaan tanah. Pengaruh anasir iklim suhu tanah dan intensitas cahaya matahari pada daerah tidak berkanopi jauh lebih besar daripada daerah tidak berkanopi.           














B. Kelembaban Nisbi Udara
           












Grafik 2.6 Kelembaban Nisbi Udara VS Waktu Aras 25 cm.
Pada grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 25 cm terlihat grafik pada daerah berkanopi pada saat menit ke 10 dan ke 20 mengalami kenaikan. Namun pada menit ke 30 dan konstan pada menit ke 40 pada saat itu, kelembaban nisbinya berada pada titik terendah tetapi pada menit ke 50 mengalami sedikit kenaikan. Sedangkan Kelembaban nisbi pada daerah yang tidak berkanopi dari menit ke 20 sampai 40 suhu konstan. Kelembaban nisbi udara terendah pada daerah tidak berkanopi pada saat pengukuran awal menit ke 10. Sedangkan suhu tertinggi dicapai pada pengukuran menit ke 50. Jika dibandingkan daerah berkanopi dangan daerah yang tidak berkanopi, maka daerah yang berkanopi memiliki kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan daerah yang tidak berkanopi. Hal ini sesuai dengan teori karena pada suhu yang rendah kelembaban nisbi semakin tinggi, dimana suhu pada daerah berkanopi lebih rendah dari pada suhu daerah yang tidak berkanopi.Kelembaban udara yang lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada siang hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evapotranspirasi dari permukaan. Proses ini berlangsung karena permukaan tanah menyerap radiasi matahari selama siang hari pada daerah yang ternaungi (Lakitan, 1994).















Grafik 2.7 Kembaban Nisbi Udara VS Waktu Aras 75 cm.
Pada grafik kelembaban nisbi udara vs waktu aras 75 cm terlihat bahwa grafik kelembaban nisbi udara daerah berkanopi pada menit ke 10 sampai pada menit ke 50 tidak mengalami kenaikan yang besar. Kelembaban nisbi udara terendah pada menit ke 40. Sedangkan kelembaban nisbi pada daerah yang tidak berkanopi pada menit ke 10 kelembaban nisbi udara sangat rendah, namun pada menit ke 20 sampai 50 mengalami kenaikan yang siknifikan, suhu pada menit ke 50 merupakan suhu tertinggi. Jika dibandingkan dengan kanopi dan tidak berkanopi, kelembaban nisbi udara berkanopi lebih tinggi dibandingkan daerah yang tidak berkanopi. Meskipun pada pengukuran awal daerah tidak berkanopi lebih rendah kelembaban nisbi udaranya namun semakin lama pengukuran suhu semakin naik dan puncaknya pada menit ke 50. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya yang semakin tinggi, dan juga dipengaruhi oleh keadaan angin yang membawa udara panas.  Hal ini sesuai dengan teori bahwa suhu yang semakin rendah, maka kelembaban nisbi udaranya akan semakin tinggi, dimana suhu pada daerah berkanopi lebih rendah daripada suhu daerah tidak berkanopi.









Grafik 2.8Kembaban Nisbi Udara VS Waktu Aras 150 cm.
 Pada pengamatan kelembaban nisbi udara vs waktu aras 150, dapat dilihat pada grafik di atas pada daerah berkanopi pada menit ke 10 suhu mengalami kenaikan pada menit ke 20 dibandingkan dengan pengamatan menit ke 30 sampai ke 50 mengalami penurunan terus. Pada pengamatan tersebut kelembaban nisbi tertinggi terjadi pada daerah kanopi pada menit ke 40. Sedangkan pada pengamatan di daerah tidak berkanopi pada menit ke 10 sampai pada menit ke 50 terus mengalami kenaikan. Kenaikan sehu tertinggi pada pengamatan menit ke 50. Sehingga kelembaban nisbi terbesar juga terjadi di daerah berkanopi pada menit ke 40. Namun pada pengamatan ini hasilnya kurang sesuai dengan teori bahwa suhu yang rendah, maka kelembaban nisbi udara akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan perbedaan pada pengamatan terakhir menit ke 50 suhu pada daerah kanopi dan tidak kanopi sama seharusnya suhu di daerah kanopi lebih rendah dari pada suhu daerah yang tidak berkanopi. Hal ini mungkin terjadi karena ketika pengamatan dilakukan terdapat angin yang berhembus memiliki suhu yang rendah, sebab ketika pengamatan angin yang berhembus sangat besar.




























Grafik 2.9 Kelembaban Nisbi Udara VS Waktu pada Daerah Berkanopi.
Pada grafik di atas secara umum terlihat bahwa grafik yang menunjukkan kelembaban nisbi udara paling tinggi terdapat pada aras 75 cm, sedangkan kelembaban nisbi udara yang paling rendah pada aras 25 cm. Berdasarkan teori suhu yang rendah memiliki kelembaban nisbi udara tinggi dan suhu yang tinggi memiliki kelembaban nisbi udara rendah. Jika dibandingkan dengan grafik suhu vs waktu daerah berkanopi diatas, pada grafik terlihat bahwa pada aras 75  memiliki kelembaban nisbi yang paling tinggi sehingga dapat diketahui memiliki rata-rata suhu yang paling rendah. Sedangkan pada aras 25 pada grafik terlihat bahwa pada aras 25 memiliki kelembaban nisbi yang paling rendah sehingga dapat diketahui rata-rata suhu yang paling tinggi. Hasil ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti kerapatan udara yang berkaitan dengan suhu dimana kerapatan udara pada daerah tertentu rapat maka kelembabannya tinggi, sedangkan apabila kerapatan udara di suatu daerah renggang maka tingkat kelembabanya juga rendah, dan vegetasi yang ada disekitar lingkungan.  
























Grafik 2.10 Kelembaban Nisbi Udara VS Waktu pada Daerah Tidak Berkanopi.
Pada grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada daerah tidak berkanopi terlihat bahwa secara umum kelembaban nisbi udara mengalami kenaikan pada menit ke 20. Setelah itu mengalami terus mengalami kenaikan. Dilihat secara umum antara ketiga aras menunjukkan bahwa kelembaban nisbi udara yang paling tinggi ada pada aras 150 cm dan kelembaban nisbi udara yang paling rendah ada pada aras 25 cm. Sehingga dapat diketahui pada aras 150 memiliki suhu terendah dan pada aras 25 memiliki suhu tertinggi. Hasil ini kurang sesuai dengan teori seharusnya kelembaban tertinggi terjadi pada aras 25 karena semakin tinggi letak pengukuran maka suhu yang didapatkan harusnya semakin tinggi. Hal semacam ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti tekanan udara karena tekanan udara juga mempegaruhi kelembaban udara dimana apabila tekanan udara pada suatu daerah rendah maka kelembabanya juga rendah begitu juga sebaliknya bila tekanan tinggi maka kelembabannya juga tinggi, kerapatan udara juga mempengaruhi bersama dengan vegetasi yang ada pada lingkungan tersebut.












B. Suhu Tanah











Grafik 2.11 Suhu Tanah VS Waktu Aras 0 cm.
Pada grafik suhu tanah jeluk 0 cm pada daerah berkanopi memiliki rata-rata suhu tanah lebih rendah daripada daerah tidak berkanopi, yaitu sebesar 30.58°C. Sedangkan pada daerah tidak berkanopi memiliki suhu dengan rata-rata 30.820C. Suhu tertinggi pada daerah berkanopi yaitu 31.4°C pada menit ke-30 dan pada daerah tidak berkanopi 31.30C saat menit ke-75. Hal ini  sesuai dengan teori, memang seharusnya daerah tidak berkanopi memiliki suhu lebih tinggi dari daerah berkanopi. Selain itu, daerah berkanopi memiliki suhu yang tidak stabil, yang disebabkan oleh intensitas radiasi matahari diterima secara tidak langsung. Sementara itu di daerah tidak berkanopi suhunya relatif stabil, karena radiasi matahari diterima secara langsung.






Grafik 2.12 Suhu Tanah VS Waktu Aras 10 cm.
Pada grafik suhu tanah jeluk 10 cm, daerah berkanopi memiliki rata-rata suhu tanah lebih tinggi daripada daerah tidak berkanopi, yaitu sebesar 30,84° C dan daerah tidah berkanopi 30,26°C. Hal ini tidak sesuai dengan teori. Pada dasarnya di daerah yang berkanopi suhu tanah cenderung lebih stabil karena radiasi matahari yang diterima relatif sedikit.Pada daerah berkanopi, panas dari radiasi matahari sukar untuk menembus permukaan tanah karena terhalang oleh pepohonan yang membentuk kanopi sehingga membuat suhu tanah lebih rendah dan relatif stabil daripada daerah tidak berkanopi. Pada daerah tidak berkanopi, panas dari radiasi matahari mudah diterima dan dilepaskan. Hal ini dikarenakan daerah tidak berkanopi mempunyai vegetasi yang berupa rumput dan semak yang tidak dapat menahan panas dari radiasi matahari sehingga menyebabkan suhu tanah relatif tinggi pada daerah tidak berkanopi. Selain perbedaan vegetasi kemiringan lahan juga menentukan sudut datang sinar matahari yang akan mempengaruhi besarnya suhu yang akan diterima oleh tanah. Pada percobaan yang telah dilakukan yang tidak sesuai teori ini terjadi karena pada saat pengukuran suhu dilakukan tidak pada interval selang waktu yang sama pada daerah yang berkanopi.















Grafik 2.13 Suhu Tanah VS Waktu Aras 20 cm.
Grafik suhu tanah pada jeluk 20 cm menunjukkan suhu tanah pada daerah yang berkanopi rata-rata memiliki suhu tanah yang lebih tinggi daripada daerah yang tidak berkanopi dengan suhu rata-rata daerah berkanopi adalah 30,92°C dan suhu rata-rata di daerah tidak berkanopi adalah 30,14°C. Keadaan suhu tanah pada jeluk 20 cm dapat dipengaruhi oleh kadar air tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik, keterolahan serta kepadatan tanah. Variasi suhu harian ditentukan oleh variasi penerimaan radiasi sinar matahari yang mempengaruhi pertukaran panas antar lapisan. Dari fluktuasi grafik dapat dikatakan bahwa secara umum amplitudo pada tanah daerah tidak berkanopi lebih cepat dan banyak menyerap serta melepaskan panas daripada tanah daerah yang berkanopi.






























Grafik 2.14 Perbandingan Suhu Tanah VS Waktu Pada Daerah Berkanopi.

Grafik suhu tanah pada daerah berkanopi pada jeluk 0 cm, 10 cm, dan 20 cm menunjukkan bahwa pada jeluk 20 cm (permukaan) pada menit ke-10 sampai menit ke-50 memiliki suhu tanah rata-rata yang paling tinggi, yaitu sebesar 30.92°C, kemudian pada jeluk 0 cm memiliki suhu tanah rata-rata 30,58°C dan yang terakhir jeluk 20 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah 30,84°C. Hal ini tidak sesuai dengan teori, karena menurut teori bahwa pada daerah berkanopi yang mendapat cahaya matahari secara langsung adalah jeluk 0 cm dan radiasi matahari memerlukan waktu untuk mencapai jeluk 20 cm dan jeluk 40 cm. Sehingga suhu tanah paling tinggi terdapat pada permukaan tanah. Dapat dikatakan bahwa tiap lapisan tanah pada berbagai kedalaman mencapai suhu tertentu tidak dalam waktu yang bersamaan, melainkan terdapat (selang waktu).Pada percobaan yang telah kita lakukan tidak sesuai teori mungkin terjadi karena pada saat pembuatan lubang pada tanah, lubang dibiarkan menganga agak lama, sehingga suhu yang ada pada luar tanah dapat masuk ke tanah hingga jeluk 10 cm dan 20 cm, sehingga ketika lubang tanah ditutup dan diukur suhunya, suhu tanah pada jeluk 10 cm dan 20 cm suhun tanahnya paling tinggi. Pembuatan lubang dilakukan dengan menggali tanah hingga terbuka karena tanah sulit ditembus dengan alat yang tersedia.










Grafik 2.14 Perbandingan Suhu Tanah VS Waktu Pada Daerah Berkanopi
Grafik suhu tanah pada daerah yang tidak berkanopi dapat kita perhatikan bahwa suhu tanah pada jeluk 0 cm mempunyai rata-rata suhu tanah yang paling tinggi. Rata-rata suhu tanah pada jeluk 0 cm yaitu sebesar 30.82°C, suhu tanah pada jeluk 10 cm yaitu sebesar 30.26°C dan suhu tanah yang terendah pada jeluk 20 cm yaitu sebesar 30.14°C. Hal inisudah sesuai dengan teori, suhu tertinggi pada jeluk 0 cm. Menurut teori tanah pada jeluk 0 cm mendapat cahaya matahari secara langsung adalah dan radiasi matahari memerlukan waktu untuk mencapai jeluk 20 cm dan jeluk 40 cm. Sehingga suhu tanah paling tinggi terdapat pada permukaan tanah. Dapat dikatakan bahwa tiap lapisan tanah pada berbagai kedalaman mencapai suhu tertentu tidak dalam waktu yang bersamaan, melainkan terdapat (selang waktu). Sehingga percobaan yang telah kita lakukan sesuai teori.













C. KECEPATAN ANGIN











Grafik 2.16 Kecepatan Angin VS Waktu.
            Pada tabel kecepatan angin pada strata berkanopi dan tidak berkanopi dapat terlihat bahwa kecepatan angin pada daerah yang tidak berkanopi memiliki rata-rata kecepatan angin lebih tinggi dari kecepatan angin rata-rata strata berkanopi, dengan kecepatan rata-rata angin daerah berkanopi yaitu 1,4 m/s, dan yang tidak berkanopi  sebesar 3,5 m/s. Dapat diketahui bahwa strataberkanopi memiliki kecepatan angin yang cenderung konstan, karena angin terhalang oleh adanya pohon-pohon yang menyebabkan kecepatan angin stabil. Sedangkan di daerah yang tidak berkanopi, angin dapat leluasa bergerak karena tidak ada kanopi yang menghalangi, sehingga kecepatan angin menjadi lebih tinggi.














D. Intensitas Penyinaran Cahaya Matahari
Grafik 2.17 Intensitas Penyinaran Cahaya Matahari
Pada grafik intensitas penyinaran cahaya matahari telihat pada daerah yang berkanopi pada pengukuran awal terlihat mengalami penurunan pada pengamatan kedua. Selanjutnya mengalami kenaikan pada pengamatan keempat, dan pada pengamatan kelima mengalami penurunan lagi. Jika dibandingkan dengan daerah yang tidak berkanopi jumlah penerimaan intensitas penyinaran cahaya matahari sangat tinggi dibandingkan dengan daerah yang tidak berkanopi. Intensitas tertinggi pada daerah yang tidak berkanopi terdapat pada pengamatan keempat sebesar 240 langlay per menit. Hal ini sesuai dengan teori dimana intensitas cahaya matahari tertinggi terjadi di daerah yang tidak berkanopi, sebab cahaya matahari tidak ada yang menghalangi.














VI. KESIMPULAN

1. Mengukur anasir mikro dapat menggunakan parameter seperti suhu tanah, suhu udara,  
kecepatan angin dan intensitas cahaya matahari.
2. Faktor yang mempengaruhi cuaca mikro antara lain keadaan vegetasi, bentuk relief tanah,
sifat tanah (tekstur, struktur, dan bahan induk), kelengasan tanah dan penutupan lahan.
3. Cuaca mikro di daerah kanopi memilki kelembapan yang tinggi, kecepatan angin yang
rendah dan kondisi suhu yang relatif stabil, sedangkan pada daerah yang tidak kanopi
memiliki kelembapan yang rendah dan kondisi suhunya tidak stabil.





































DAFTAR PUSTAKA
Holton, J.R. 2004. An Introduction to Dynamic Meteorology. Md: Elsevier Inc., Burlington.
Lakitan, B. 1994. Dasar-Dasar Klimatologi. PT.  Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Landsberg, H.E. 1981. General Climatology 3. Elsevier Scientific Publishing Company, New York.
Martono. 2006. Pengaruh perubahan penutup lahan terhadap iklim mikro. Jurnal Lapan 76 : 1-7.
McAlister, D. David, D.T.W. Chun, G.R. Gamble, L.C. Godbey, D.R. Cobb, and E.E. Backe. 2008. The impact of carding micro-climate on cotton moisture content and fiber and yarn quality. Journal of Cotton Science 9 : 97–101.
Nawawi, G. 2001. Pengendalian Iklim Mikro. <http://psbtik.smkn1cms.net>. Diakses pada 24 September 2014.
Tjasjono, B. 1999. Klimatologi Umum. Institut Teknologi Bandung Press. Bandung.



0 comments:

Post a Comment

KOMISARIAT PERSIAPAN HMI AGROKOMPLEKS UGM
Powered by Blogger.

Recent Post

Total Pageviews

KOMISARIAT PERSIAPAN HMI AGROKOMPLEKS UGM