ACARAII
PENGAMATAN CUACA MIKRO
PENGAMATAN CUACA MIKRO
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Cuacaadalah
kondisi atmosfer sesaat (jangka pendek) beserta perubahan yang terjadi. Sedangkan Iklim adalah Iklim mikro adalah kondisi cuaca
dalam lingkunganatmosfer terbatas sebatas lingkungan tanaman atau di sekitar permukaan tanah. Keadaan iklim dan
cuaca sangat mempengaruhi tanaman karena antara tanaman dan cuaca memiliki
interaksi diantara keduanya.
Tanaman membutuhkan keadaan cuaca dan iklim tertentu
untuk dapat tumbuh berkembang dengan baik sehingga didapatkan hasil yang maksimal.Cuaca dan
iklim mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pertanian. Sebab dalam
proses pembentukkan hasil pertanian sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan
disekitar tanaman tumbuh. Cuaca dan iklim tidak hanya berpengaruh terhadap
kegiatan manusia dalam usaha pertanian, tetapi juga dalam hal tempat tinggal,
makanan dan kebudayaan serta dalam aspek kehidupan yang lain. Adapun
manfaat-manfaat penting dalam mempelajari iklim yang ada di Indonesia dalam
kegiatan pertanian yaitu mengetahui hubungan iklim dan pertanian
mengeksplorasi potensi iklim untuk perencanaan intensifikasi dan ekstensifikasi
produksi, dapat menentukan kebijakan pengelolaaan usaha tani (pola tanam,
irigasi, pemupukan, tindakan modifikasi, dan lainnya).
Iklim
mikro dapat berpengaruh pada tanaman. Pengaruh yang sederhana contohnya yaitu
kondisi udara dibawah pohon yang rindang pada saat matahari bersinar penuh.
Keadaan udara di bawah pohon tersebut lebih sejuk, lembab dan teduh. Lebih
sejuk karena energi cahaya matahari berkurang intensitasnya untuk memanaskan
udara di bawah pohon terhalang oleh daun-daun pohon. Lebih teduh karena
intensitas cahaya matahari sebagian besar terhalangin dan tidak bias tertembus
oleh kanopi pohon tersebut. Selain
menurunkan intensitas cahaya langsung dan suhu, pohon dan semak dapat pula
mempertinggi kelembaban udara dan dapat mengurangi kecepatan angin. Peran
pepohonan untuk mengurangi kecepatan angin ini besar manfaat kehadirannya pada
budidaya tanaman semusim dan tanaman hortikultura yang gampang roboh.
Cuaca dan iklim tidak hanya mempengaruhi
perkembangan tanaman tapi juga berpengaruh pada kegiatan manusia dalam usaha
pertanian tempat tinggal, makanan dan kebudayaan. Saat ini manusia belum mampu
merekayasa iklim secara luas, untuk itu ilmu pengetahuan tentang cuaca dan
iklim sangat diperlukan dalam bidang pertanian.Unsur-unsur cuaca yang
berpengaruh terhadap pertanian adalah keadaan cuaca, angin, awan, suhu udara
dan suhu tanah, kelembaban udara, tekanan udara, curah hujan, dan lamanya
penyinaran matahari. Unsur-unsur tersebut dapat diamati dengan alat-alat
tertentu dan hasil-hasil pengamatan tersebut dapat digunakan untuk
memperkirakan keadaan-keadaan alam yang berhubungan dengan pertanian. Sehingga
dapat digunakan untuk menentukan langkah yang sesuai dalam melakukan kegiatan
pertanian.
B. TUJUAN
1.
Mengenal cara- cara mengukur anasir cuaca mikro.
2.
Mengetahui faktor- faktor yang berpengaruh terhadap cuaca mikro
3.
Mengetahui cuaca mikro pada berbagai ekosistem.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Iklim mikro adalah kondisi
iklim pada suatu ruang yang sangat terbatas sampai batas kurang lebih
setinggi dua meter dari permukaan tanah. Iklim mikro merupakan iklim dalam
ruang kecil yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti hutan, rawa, danau,
dan aktivitas manusia. Keadaan unsur-unsur iklim ini
akan mempengaruhi tingkah laku dan metabolisme yang berlangsung pada tubuh
makhluk hidup, sebaliknya keberadaan makhluk tersebut (terutama tumbuhan) akan
pula mempengaruhi keadaan iklim mikro di sekitarnya. Pengaruh lingkungan
terhadap iklim mikro misalnya terhadap suhu udara, suhu tanah, kecepatan arah
angin, intensitas penyinaran yang diterima oleh suatu permukaan, dan kelembaban
udara (Holton, 2004).
Pengetahuan
tentang sifat-sifat benda atau bahan sehubungan dengan kemampuannya untuk
menyerap, memantulkan, atau meneruskan radiasi matahari serta kemampuannya
dalam menyerap dan menahan air, sering dimanfaatkan menusia dalam usahanya
untuk memodifikasi iklim mikro. Modifikasi iklim mikro sering dilakukan dengan
tujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi manusia atau untuk
menciptakan lingkungan yang lebih optimal (atau paling tidak lebih baik) untuk
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pendekatan lain untuk memodifikasi iklim
mikro yang dilakukan manusia diantaranya adalah dengan merubah kelembaban
udara, dan temperature (Nawawi, 2001).
Perbedan
antara iklim mikro dan iklim makro, terutama disebabkan oleh jarak dengan
permukaan bumi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dapat disebabkan oleh macam
tanah, yaitu tanah hitam, tanah abu-abu, tanah lembek, dan tanah keras, oleh
bentuk yaitu bentuk konkaf (lembah), bentuk konveks (gunung) dan danau,
kemudian juga ditentukan oleh tanam-tanaman yang tumbuh diatasnya, yaitu rawa,
hutan dan lain-lain. Setelah itu juga dipengaruhi oleh jumlah radiasi dan
profil angin yang terakhir dipengaruhi oleh aktivitas manusia yaitu daerah
industri, kawasan kota, pedesaan, dan sebagainya. Sebenarnya diantara iklim
makro dan iklim mikro terdapat iklim meso, akan tetapi istilah iklim meso
kurang umum dipakai dan dimengerti sehingga istilah meso klimatologi sangat
jarang dijumpai dalam pustaka (Tjasjono,1999).
Anasir terpenting dalam kajian iklim mikro meliputi
radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, penguapan (evaporasi dan
transpirasi) dan kecepatan angin. Radiasi
adalah proses energi dipindahkan oleh gelombang elektromagnetik dari benda yang
satu ke benda yang lain tanpa adanya medium perantara. Energi matahari sampai
ke bumi dalam bentuk radiasi dalam bentuk gelombang pendek yang diradiasikan
kembali oleh bumi dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Bagian radiasi yang sampai ke bumi disebut insolasi.
Radiasi matahari maksimum tercapai pada saat matahari tegak lurus permukaan
tanah (Lansberg,
1981).
Perubahan suhu dan kelembaban udara sebagai
indikator perubahan neraca energi
berkaitan dengan transfer atau perpindahan panas pada medium udara dan
kelembaban serta transfer atau
perpindahan uap air yang dikenal sebagai evaporasi atau evapotranspirasi. Kelembaban udara menyatakan banyaknya air dalam udara.
Kelembaban relatif adalah perbandingan antara uap air dalam udara tersebut.
Jika temperatur dan tekanan yang sama udara tersebut jenuh dengan uap air.
Adanya perbedaan pola perubahan suhu dan rata- rata kelembaban udara merupakan
indikasi telah terjadinya perubahan kesetimbangan energi (Martono, 2006).
Kecepatan angin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain gradien tekanan horizontal,
ketinggian tempat, dan
letak geografis.Temperatur di
dalam tanah dikendalikan oleh tempertatur permukaannya. Seluruhnya sangat
tergantung pada keadaan cuaca di atas permukaan. Temperatur permukaan tanah
lebih peka daripada temperatur udara mengubah cuaca. Lapisan tanah yang pertama
yang sangat besar variasi temperaturnya disebut lapisan tanah dasar, analog
dengan lapisan dasar atmosfer (McAlister et al., 2005).
II METODOLOGI
Pengamatan
cuaca mikro pada acara 2 ini dilaksanakan pada hari Senin 22 September 2014 di
lembah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dimulai pukul 14.00 WIB yang
dilakukan di dua daerah yang berbeda yaitu daerah berkanopi dan daerah tanpa
kanopi.
Alat-alat
yang digunakan pada pengamatan ini adalah termometer untuk mengukur suhu udara,
termohigrometer untuk mengukur kelembaban nisbi udara, luxmeter untuk mengukur
intensitas cahaya, digital anemometer untuk mengukur kecepatan
angin, stick termometer untuk mengukur suhu tanah, statif untuk menggantung
termometer. Dua
tempat yang memiliki keadaan yang berbeda yaitu daerah yang berkanopi dan
daerah tanpa kanopi dipilih untuk mengadaakan percobaan pengamatan cuaca mikro.
Langkah yang ditempuh adalah statif ditancapkan ke tanah dan dipasang dengan
termometer pada aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm dari permukaan tanah. Pengamatan
diukur setiap 10 menit sehingga mencapai 5 kali pengamatan. Stick termometer
ditancapkan di tanah pada jeluk 0 cm, 10 cm, dan 20 cm dari permukan tanah.
Pengamatan dilakukan pada setiap jeluk pada setiap pengambilan data setiap 10
menit sekali dengan 5 kali pengulangan, 10 menit pertama dilakukan pada jeluk
0cm, setelah itu dimasukkan hingga mencapai jeluk 10 cm, setelah sepuluh menit
dicatat lagi hasilnya pada tebel pengamatan. Digital anemometer diangkat ke atas
agar tidak terhalang dengan penghalang. Lalu dilihat angka yang tertera pada
digital anemometer. Pada pengukuran intensitas cahaya digunakan luxmeter. Alat
ini memiliki tiga skala dengan tombol pengatur di sebelah kanannya. Mula-mula
diatur pada skala yang paling rendah dengan posisi tombol pengatur ada di
paling bawah, apabila jarum penunjuk melebihi batas skala maka tombol dinaikkan
dan pembacaan skala berubah dengan membaca skala di atas skala yang sebelummya dibaca.
Sensor cahaya berada di atas Luxmeter jika sudah tidak digunakan maka ditutup
kembali agar terlindung dari sinar matahari sehingga tidak terjadi pengukuran
intensitas cahaya. Pengamatan kecepatan angin dan intensitas cahaya di lakukan
sebanyak 5 kali pengulangan setiap 10 menit.
IV.
HASIL PENGAMATAN
Hari, tanggal : Senin,22 September 2014
Golongan
: A1
Kelompok : 5
Tabel 2.1 Hasil
Pengamatan Iklim Mikro
PARAMETER
|
NO
|
TITIK WAKTU PENGAMATAN
|
ARAS / JELUK PENGAMATAN
|
STRATA
|
|
KANOPI
|
TANPA
KANOPI
|
||||
SUHU
UDARA
|
1
|
10
‘
|
25
cm
|
320C
|
34,5
0C
|
75
cm
|
310C
|
33
0C
|
|||
150
cm
|
320C
|
340C
|
|||
2
|
20’
|
25
cm
|
320C
|
330C
|
|
75
cm
|
300C
|
320C
|
|||
150
cm
|
320C
|
340C
|
|||
3
|
30’
|
25
cm
|
320C
|
330C
|
|
75
cm
|
300C
|
330C
|
|||
150
cm
|
31,50C
|
310C
|
|||
4
|
40’
|
25
cm
|
320C
|
330C
|
|
75
cm
|
300C
|
340C
|
|||
150
cm
|
31,80C
|
320C
|
|||
5
|
50’
|
25
cm
|
31,80C
|
320C
|
|
75
cm
|
300C
|
310C
|
|||
150
cm
|
31,50C
|
340C
|
|||
KELEMBABAN
NISBI UDARA
|
1
|
10’
|
25
cm
|
30
%
|
27%
|
75
cm
|
31%
|
27%
|
|||
150
cm
|
31%
|
26%
|
|||
2
|
20’
|
25
cm
|
32%
|
31%
|
|
75
cm
|
32%
|
31%
|
|||
150
cm
|
32%
|
31%
|
|||
3
|
30’
|
25
cm
|
31%
|
32%
|
|
75
cm
|
31%
|
31%
|
|||
150
cm
|
31%
|
31%
|
|||
4
|
40’
|
25
cm
|
31%
|
32%
|
|
75
cm
|
30%
|
31%
|
|||
150
cm
|
30%
|
31%
|
|||
5
|
50’
|
25
cm
|
32%
|
33%
|
|
75
cm
|
31%
|
33%
|
|||
150
cm
|
32%
|
32%
|
|||
SUHU
TANAH
|
1
|
10’
|
0
cm
|
31,10C
|
30,80C
|
10
cm
|
31,30C
|
30,20C
|
|||
20
cm
|
31,50C
|
31,10C
|
|||
2
|
20’
|
0
cm
|
31,40C
|
30,80C
|
|
10
cm
|
31,60C
|
30,50C
|
|||
20
cm
|
31,40C
|
30,10C
|
|||
3
|
30’
|
0
cm
|
30,10C
|
30,50C
|
|
10
cm
|
30,50C
|
30,10C
|
|||
20
cm
|
30,60C
|
29,80C
|
|||
4
|
40’
|
0
cm
|
300C
|
30,70C
|
|
10
cm
|
30,50C
|
30,20C
|
|||
20
cm
|
30,60C
|
29,10C
|
|||
5
|
50’
|
0
cm
|
30,30C
|
31,30C
|
|
10
cm
|
30,30C
|
30,90C
|
|||
20
cm
|
30,50C
|
30,6
0C
|
|||
KECEPATAN
ANGIN
|
1
|
10’
|
|
2,5
m/s
|
1,5m/s
|
2
|
20’
|
|
2,0
m/s
|
5,2
m/s
|
|
3
|
30’
|
|
1,6
m/s
|
3,0
m/s
|
|
4
|
40’
|
|
0,5
m/s
|
3,4
m/s
|
|
5
|
50’
|
|
0,4
m/s
|
4,4
m/s
|
|
INTENSITAS
PENYINARAN
|
1
|
10’
|
|
60
|
220
|
2
|
20’
|
|
50
|
220
|
|
3
|
30’
|
|
55
|
220
|
|
4
|
40’
|
|
70
|
240
|
|
5
|
50’
|
|
60
|
200
|
V.
PEMBAHASAN
A. Suhu udara
Suhu udara merupakan salah satu
anasir iklim yang diukur dalam pengukuran iklim mikro. Tinggi rendahnya suhu
udara suatu daerah dipengaruhi oleh insolasi pada daerah tersebut. Ini
disebabkan radiasi sinar matahari datang ke permukaan bumi sebagai cahaya dan
energi panas. Semakin besar insolasi yang diterima suatu daerah, akan semakin
besar pula energi panas yang diterima daerah tersebut. Hal ini yang menyebabkan
suhu udara daerah tersebut meningkat. Insolasi yang terhalangi, menyebabkan
suhu udara menjadilebih rendah. Oleh karena itu, daerah yang ternaungi, atau
memiliki kanopi, akan memiliki suhu udara yang rendah. Kanopi tersebut dapat
berupa pepohonan atau kanopi buatan. Dalam hal ini, awan juga dapat menghalangi
insolasi matahari ke suatu daerah. Selain insolasi, suhu udara juga dipengaruhi
oleh ketinggian suatu daerah. Semakin tinggi suatu daerah, maka semakin rendah
suhu udara. Penurunan suhu udara yang diikuti kenaikan ketinggian tempat
disebut sebagai gradien suhu.
Sementara itu, suhu udara mempengaruhi
beberapa anasir iklim mikro yang lain, seperti suhu tanah, arah angin, dan
kelembaban udara. Pengaruh suhu udara terhadap arah angin dapat diketahui dari
proses terjadinya angin darat dan angin laut di daerah pantai. Dalam proses
tersebut, semakin tinggi suhu udara akan menyebabkan semakin rendah kerapatan
udara, dan tekanan udara menjadi rendah. Tekanan udara inilah yang menentukan
arah angin. Sedangkan pengaruh suhu udara terhadap kelembaban udara dapat
diketahui dari proses penguapan yang lebih cepat terjadi pada suhu tinggi.
Bertambah cepatnya proses penguapan ini akan menyebabkan jumlah uap air dalam
udara bertambah, dan menyebabkan kenaikan kelembaban pada suatu daerah. Akan
tetapi, pada daerah berkanopi, uap air yang naik akan terhalang oleh kanopi,
sehingga menyebabkan uap air seolah terkumpul di udara.
Dalam praktikum ini, pengukuran suhu
udara dilakukan di daerah yang berkanopi dan tidak berkanopi. Pada setiap
daerah, dilakukan tiga pengukuran pada setiap aras dari permukaan tanah, yaitu
25 cm, 75 cm, dan 150 cm. Pengukuran ini dilakukan setiap sepuluh menit
sebanyak lima kali. Hal ini dilakukan sebagai pembanding, dan untuk mengetahui
apakah ada perbedaan suhu yang terjadi pada setiap aras dan setiap waktu pada
daerah berkanopi dengan daerah tidak berkanopi. Ketiga perbedaan tersebut
dimungkinkan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya suhu udara suatu daerah. Hasil
pengukuran tersebut ditampilkan dalam bentuk grafik.
Grafik 2.1 Suhu udara pada aras 25 cm
berkanopi dengan daerah tidak berkanopi.
Grafik di atas dapat terlihat bahwa
suhu udara pada daerah berkanopi lebih stabil daripada daerah tidak berkanopi,
sedangkan pada daerah berkanopi suhu pada menit pertama tinggi tetapi pada
menit ke-20, 30, 40 suhu udara stabil pada 320C, dan mengalami
penurunan pada menit ke-50. Suhu udara pada daerah yang berkanopi lebih rendah
daripada daerah tidak berkanopi.Hal ini dipengaruhi oleh suhu tanah sebab jarak
antara termometer dengan tanah hanya sedikit. Pada daerah tidak berkanopi intensitas
cahaya matahari yang menuju tanah semakin besar dan mengakibatkan kenaikan suhu
pada tanah, sedangkan daerah yang berkanopi intensitas cahaya terhalang oleh
pohon-pohon berkanopi yang menyebabkan suhu tanah di daerah ini lebih rendah.
Sehingga yang faktor yang mempengaruhi dari suhu tanah ini yaitu intensitas
cahaya matahari dan suhu tanah.
Grafik 2.2Suhu udara pada aras 75 cm berkanopi
dengan daerah tidak berkanopi.
Grafik perbandingan suhu udara pada aras 75 cm di
atas, menunjukkan kestabilan suhu udara pada daerah berkanopi yang lebih baik
daripada daerah tidak berkanopi sama dengan pada aras 25 cm. Fluktuasi udara
yang lebih tajam pada aras 75 cm, baik pada daerah berkanopi maupun tidak
berkanopi, disebabkan oleh kenaikan aras yang memperbesar kemungkinan
terpengaruhnya suhu udara oleh anasir iklim lain. Suhu udara pada daerah
berkanopi lebih rendah daripada daerah tidak berkanopi. Pada daerah
berkanopi, suhu relatif lebih stabil daripada di daerah tidak berkanopi. Hal
ini disebabkan oleh intensitas radiasi matahari yang lebih sedikit dibandingkan
daerah tidak berkanopi. Selain itu, daerah berkanopi mendapatkan penurunan suhu
dari pergerakan angin sedangkan daerah tidak berkanopi mendapatkan panas dari
angin yang bergerak dari daerah berkanopi. Sedangkan pada daerah yang berkanopi
terjadi kenaikan suhu karena mendapat pengaruh intensitas radiasi matahari
maksimum.
Grafik 2.3 Suhu udara pada aras 150 cm berkanopi
dengan daerah tidak berkanopi.
Pada grafik ini, terlihat bahwa
kestabilan suhu udara pada daerah berkanopi lebih baik daripada daerah tidak
berkanopi. Semakin tajamnya fluktuasi suhu pada daerah tidak berkanopi
disebabkan oleh kenaikan aras. Rerata suhu udara pada daerah berkanopi lebih
rendah daripada suhu udara pada daerah tidak berkanopi. Hal ini disebabkan pada
daerah berkanopi suhu tanah sudah tidak berpengaruh karena pada aras 150 lebih
tinggi dibandingkan aras 25 dan aras 75, sehingga suhu udara yang terdapat pada
lingkungan tersebut konstan. Sedangkan pada daerah tidak berkanopi pada menit
ke-10 dan 20 memiliki rerata yang sama tetapi pada menit ke-30 dan 40 mengalami
penurunan, hal ini mungkin diakibatkan anasir iklim, berupa pergerakan angin
yang memiliki suhu rendah, dan hanya melintas sesaat.
Grafik 2.4 Suhu udara berkanopi dalam
aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm.
Grafik Perbandingan suhu udara pada daerah berkanopi
menunjukkan bahwa suhu udara di daerah berkanopi tidak mengalami perubahan yang
berarti selama waktu pengamatan, kecuali pada aras 75 cm di atas permukaan
tanah, pada titik terjadinya perubahan suhu hingga 1ºC di menit ke-20, yang
merupakan selisih suhu terbesar. Rerata suhu tertinggi diperoleh pada aras 25
cm di atas permukaan tanah, dan rerata suhu terendah terdapat pada aras 75 cm
di atas permukaan tanah. Kemungkinan, terjadinya angin yang cukup kencang pada
waktu pengamatan mempengaruhi perolehan suhu udara pada setiap aras. Meskipun
demikian, suhu udara pada daerah berkanopi tetap stabil akibat adanya kanopi
berupa pepohonan sebagai penghalang insolasi dan uap air yang naik. Akibatnya,
terjadi semacam keseimbangan antara suhu yang tinggi dengan jumlah uap air yang
tersedia sehingga suhu udara yang diukur dan dirasakan tidak terlalu tinggi.
Suhu udara yang diperoleh seiring waktu pengamatan cenderung menurun sebagai
efek berkurangnya insolasi matahari, meskipun efek tersebut tidak menyebabkan
perubahan yang tajam pada daerah ini. Insolasi matahari dapat disebabkan oleh
panjangnya siang hari, keadaan atmosfer, sudut datang sinar matahari dan
konstate matahari.
Grafik 2.5 Suhu udara tidak berkanopi
dalam aras 25 cm, 75 cm, dan 150 cm.
Pada grafik ini, terlihat bahwa suhu
udara pada daerah tidak berkanopi tidak stabil. Tidak tersedianya kanopi
menyebabkan suhu udara di daerah ini terkena pengaruh langsung dari insolasi
matahari. Seperti diketahui, insolasi maksimal tejadi pada pukul 13.00 sampai
15.00, dan ini bertepatan dengan waktu pengukuran dilaksanakan. Selain insolasi
matahari, adanya anasir iklim lain seperti angin juga memberi pengaruh langsung
terhadap suhu udara di daerah tidak berkanopi, terutama pada aras 150 cm di
atas permukaan tanah. Pengaruh anasir iklim suhu tanah dan intensitas cahaya
matahari pada daerah tidak berkanopi jauh lebih besar daripada daerah tidak
berkanopi.
B. Kelembaban Nisbi
Udara
Grafik 2.6 Kelembaban Nisbi Udara VS
Waktu Aras 25 cm.
Pada grafik kelembaban
nisbi udara vs waktu aras 25 cm terlihat grafik pada daerah berkanopi pada saat
menit ke 10 dan ke 20 mengalami kenaikan. Namun pada menit ke 30 dan konstan
pada menit ke 40 pada saat itu, kelembaban nisbinya berada pada titik terendah
tetapi pada menit ke 50 mengalami sedikit kenaikan. Sedangkan Kelembaban nisbi
pada daerah yang tidak berkanopi dari menit ke 20 sampai 40 suhu konstan.
Kelembaban nisbi udara terendah pada daerah tidak berkanopi pada saat
pengukuran awal menit ke 10. Sedangkan suhu tertinggi dicapai pada pengukuran
menit ke 50. Jika dibandingkan daerah berkanopi dangan daerah yang tidak
berkanopi, maka daerah yang berkanopi memiliki kelembaban yang lebih tinggi
dibandingkan daerah yang tidak berkanopi. Hal ini sesuai dengan teori karena
pada suhu yang rendah kelembaban nisbi semakin tinggi, dimana suhu pada daerah
berkanopi lebih rendah dari pada suhu daerah yang tidak berkanopi.Kelembaban udara yang lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada
siang hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evapotranspirasi dari
permukaan. Proses ini berlangsung karena permukaan tanah menyerap radiasi matahari
selama siang hari pada daerah yang ternaungi (Lakitan, 1994).
Grafik 2.7 Kembaban Nisbi Udara VS Waktu
Aras 75 cm.
Pada grafik kelembaban
nisbi udara vs waktu aras 75 cm terlihat bahwa grafik kelembaban nisbi udara
daerah berkanopi pada menit ke 10 sampai pada menit ke 50 tidak mengalami
kenaikan yang besar. Kelembaban nisbi udara terendah pada menit ke 40.
Sedangkan kelembaban nisbi pada daerah yang tidak berkanopi pada menit ke 10
kelembaban nisbi udara sangat rendah, namun pada menit ke 20 sampai 50
mengalami kenaikan yang siknifikan, suhu pada menit ke 50 merupakan suhu
tertinggi. Jika dibandingkan dengan kanopi dan tidak berkanopi, kelembaban
nisbi udara berkanopi lebih tinggi dibandingkan daerah yang tidak berkanopi.
Meskipun pada pengukuran awal daerah tidak berkanopi lebih rendah kelembaban
nisbi udaranya namun semakin lama pengukuran suhu semakin naik dan puncaknya
pada menit ke 50. Hal ini disebabkan oleh intensitas cahaya yang semakin
tinggi, dan juga dipengaruhi oleh keadaan angin yang membawa udara panas. Hal ini sesuai dengan teori bahwa suhu yang
semakin rendah, maka kelembaban nisbi udaranya akan semakin tinggi, dimana suhu
pada daerah berkanopi lebih rendah daripada suhu daerah tidak berkanopi.
Grafik 2.8Kembaban Nisbi Udara VS Waktu
Aras 150 cm.
Pada pengamatan kelembaban nisbi udara vs
waktu aras 150, dapat dilihat pada grafik di atas pada daerah berkanopi pada
menit ke 10 suhu mengalami kenaikan pada menit ke 20 dibandingkan dengan
pengamatan menit ke 30 sampai ke 50 mengalami penurunan terus. Pada pengamatan
tersebut kelembaban nisbi tertinggi terjadi pada daerah kanopi pada menit ke
40. Sedangkan pada pengamatan di daerah tidak berkanopi pada menit ke 10 sampai
pada menit ke 50 terus mengalami kenaikan. Kenaikan sehu tertinggi pada
pengamatan menit ke 50. Sehingga kelembaban nisbi terbesar juga terjadi di
daerah berkanopi pada menit ke 40. Namun pada pengamatan ini hasilnya kurang
sesuai dengan teori bahwa suhu yang rendah, maka kelembaban nisbi udara akan
semakin tinggi. Hal ini disebabkan perbedaan pada pengamatan terakhir menit ke
50 suhu pada daerah kanopi dan tidak kanopi sama seharusnya suhu di daerah
kanopi lebih rendah dari pada suhu daerah yang tidak berkanopi. Hal ini mungkin
terjadi karena ketika pengamatan dilakukan terdapat angin yang berhembus
memiliki suhu yang rendah, sebab ketika pengamatan angin yang berhembus sangat
besar.
Grafik 2.9 Kelembaban Nisbi Udara VS Waktu pada Daerah
Berkanopi.
Pada grafik di atas
secara umum terlihat bahwa grafik yang menunjukkan kelembaban nisbi udara
paling tinggi terdapat pada aras 75 cm, sedangkan kelembaban nisbi udara yang
paling rendah pada aras 25 cm. Berdasarkan teori suhu yang rendah memiliki
kelembaban nisbi udara tinggi dan suhu yang tinggi memiliki kelembaban nisbi
udara rendah. Jika dibandingkan dengan grafik suhu vs waktu daerah berkanopi
diatas, pada grafik terlihat bahwa pada aras 75
memiliki kelembaban nisbi yang paling tinggi sehingga dapat diketahui
memiliki rata-rata suhu yang paling rendah. Sedangkan pada aras 25 pada grafik
terlihat bahwa pada aras 25 memiliki kelembaban nisbi yang paling rendah
sehingga dapat diketahui rata-rata suhu yang paling tinggi. Hasil ini
disebabkan oleh beberapa faktor seperti kerapatan udara yang berkaitan dengan
suhu dimana kerapatan udara pada daerah tertentu rapat maka kelembabannya
tinggi, sedangkan apabila kerapatan udara di suatu daerah renggang maka tingkat
kelembabanya juga rendah, dan vegetasi yang ada disekitar lingkungan.
Grafik
2.10 Kelembaban Nisbi Udara
VS Waktu pada Daerah Tidak Berkanopi.
Pada grafik kelembaban nisbi udara vs waktu pada
daerah tidak berkanopi terlihat bahwa secara umum kelembaban nisbi udara
mengalami kenaikan pada menit ke 20. Setelah itu mengalami terus mengalami
kenaikan. Dilihat secara umum antara ketiga aras menunjukkan bahwa kelembaban
nisbi udara yang paling tinggi ada pada aras 150 cm dan kelembaban nisbi udara
yang paling rendah ada pada aras 25 cm. Sehingga dapat diketahui pada aras 150
memiliki suhu terendah dan pada aras 25 memiliki suhu tertinggi. Hasil ini
kurang sesuai dengan teori seharusnya kelembaban tertinggi terjadi pada aras 25
karena semakin tinggi letak pengukuran maka suhu yang didapatkan harusnya
semakin tinggi. Hal semacam ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti tekanan
udara karena tekanan udara juga mempegaruhi kelembaban udara dimana apabila
tekanan udara pada suatu daerah rendah maka kelembabanya juga rendah begitu
juga sebaliknya bila tekanan tinggi maka kelembabannya juga tinggi, kerapatan
udara juga mempengaruhi bersama dengan vegetasi yang ada pada lingkungan
tersebut.
B.
Suhu Tanah
Grafik
2.11 Suhu Tanah VS Waktu Aras 0
cm.
Pada grafik suhu tanah jeluk 0 cm pada daerah
berkanopi memiliki rata-rata suhu tanah lebih rendah daripada daerah tidak
berkanopi, yaitu sebesar 30.58°C. Sedangkan pada daerah tidak berkanopi
memiliki suhu dengan rata-rata 30.820C. Suhu tertinggi pada daerah
berkanopi yaitu 31.4°C pada menit ke-30 dan pada daerah tidak berkanopi 31.30C
saat menit ke-75. Hal ini sesuai dengan
teori, memang seharusnya daerah tidak berkanopi memiliki suhu lebih tinggi dari
daerah berkanopi. Selain itu, daerah berkanopi memiliki suhu yang tidak stabil,
yang disebabkan oleh intensitas radiasi matahari diterima secara tidak
langsung. Sementara itu di daerah tidak berkanopi suhunya relatif stabil,
karena radiasi matahari diterima secara langsung.
Grafik
2.12 Suhu Tanah VS Waktu Aras 10
cm.
Pada grafik suhu tanah jeluk 10 cm, daerah berkanopi
memiliki rata-rata suhu tanah lebih tinggi daripada daerah tidak berkanopi,
yaitu sebesar 30,84° C dan daerah tidah berkanopi 30,26°C. Hal ini tidak sesuai
dengan teori. Pada dasarnya di daerah yang berkanopi suhu tanah cenderung lebih
stabil karena radiasi matahari yang diterima relatif sedikit.Pada daerah
berkanopi, panas dari radiasi matahari sukar untuk menembus permukaan tanah
karena terhalang oleh pepohonan yang membentuk kanopi sehingga membuat suhu
tanah lebih rendah dan relatif stabil daripada daerah tidak berkanopi. Pada
daerah tidak berkanopi, panas dari radiasi matahari mudah diterima dan
dilepaskan. Hal ini dikarenakan daerah tidak berkanopi mempunyai vegetasi yang
berupa rumput dan semak yang tidak dapat menahan panas dari radiasi matahari
sehingga menyebabkan suhu tanah relatif tinggi pada daerah tidak berkanopi.
Selain perbedaan vegetasi kemiringan lahan juga menentukan sudut datang sinar
matahari yang akan mempengaruhi besarnya suhu yang akan diterima oleh tanah.
Pada percobaan yang telah dilakukan yang tidak sesuai teori ini terjadi karena
pada saat pengukuran suhu dilakukan tidak pada interval selang waktu yang sama
pada daerah yang berkanopi.
Grafik
2.13 Suhu Tanah VS Waktu Aras 20
cm.
Grafik suhu tanah pada jeluk 20 cm menunjukkan suhu
tanah pada daerah yang berkanopi rata-rata memiliki suhu tanah yang lebih
tinggi daripada daerah yang tidak berkanopi dengan suhu rata-rata daerah
berkanopi adalah 30,92°C dan suhu rata-rata di daerah tidak berkanopi adalah
30,14°C. Keadaan suhu tanah pada jeluk 20 cm dapat dipengaruhi oleh kadar air
tanah, tekstur tanah, kandungan bahan organik, keterolahan serta kepadatan
tanah. Variasi suhu harian ditentukan oleh variasi penerimaan radiasi sinar
matahari yang mempengaruhi pertukaran panas antar lapisan. Dari fluktuasi
grafik dapat dikatakan bahwa secara umum amplitudo pada tanah daerah tidak
berkanopi lebih cepat dan banyak menyerap serta melepaskan panas daripada tanah
daerah yang berkanopi.
Grafik 2.14
Perbandingan Suhu Tanah VS Waktu Pada Daerah Berkanopi.
Grafik suhu tanah pada daerah berkanopi pada jeluk 0
cm, 10 cm, dan 20 cm menunjukkan bahwa pada jeluk 20 cm (permukaan) pada menit
ke-10 sampai menit ke-50 memiliki suhu tanah rata-rata yang paling tinggi,
yaitu sebesar 30.92°C, kemudian pada jeluk 0 cm memiliki suhu tanah rata-rata
30,58°C dan yang terakhir jeluk 20 cm yang memiliki suhu rata-rata tanah
30,84°C. Hal ini tidak sesuai dengan teori, karena menurut teori bahwa pada
daerah berkanopi yang mendapat cahaya matahari secara langsung adalah jeluk 0
cm dan radiasi matahari memerlukan waktu untuk mencapai jeluk 20 cm dan jeluk
40 cm. Sehingga suhu tanah paling tinggi terdapat pada permukaan tanah. Dapat
dikatakan bahwa tiap lapisan tanah pada berbagai kedalaman mencapai suhu
tertentu tidak dalam waktu yang bersamaan, melainkan terdapat (selang
waktu).Pada percobaan yang telah kita lakukan tidak sesuai teori mungkin
terjadi karena pada saat pembuatan lubang pada tanah, lubang dibiarkan menganga
agak lama, sehingga suhu yang ada pada luar tanah dapat masuk ke tanah hingga
jeluk 10 cm dan 20 cm, sehingga ketika lubang tanah ditutup dan diukur suhunya,
suhu tanah pada jeluk 10 cm dan 20 cm suhun tanahnya paling tinggi. Pembuatan
lubang dilakukan dengan menggali tanah hingga terbuka karena tanah sulit
ditembus dengan alat yang tersedia.
Grafik
2.14 Perbandingan Suhu Tanah VS Waktu Pada Daerah Berkanopi
Grafik suhu tanah pada daerah yang tidak berkanopi
dapat kita perhatikan bahwa suhu tanah pada jeluk 0 cm mempunyai rata-rata suhu
tanah yang paling tinggi. Rata-rata suhu tanah pada jeluk 0 cm yaitu sebesar
30.82°C, suhu tanah pada jeluk 10 cm yaitu sebesar 30.26°C dan suhu tanah yang
terendah pada jeluk 20 cm yaitu sebesar 30.14°C. Hal inisudah sesuai dengan
teori, suhu tertinggi pada jeluk 0 cm. Menurut teori tanah pada jeluk 0 cm
mendapat cahaya matahari secara langsung adalah dan radiasi matahari memerlukan
waktu untuk mencapai jeluk 20 cm dan jeluk 40 cm. Sehingga suhu tanah paling
tinggi terdapat pada permukaan tanah. Dapat dikatakan bahwa tiap lapisan tanah
pada berbagai kedalaman mencapai suhu tertentu tidak dalam waktu yang
bersamaan, melainkan terdapat (selang waktu). Sehingga percobaan yang telah kita
lakukan sesuai teori.
C.
KECEPATAN ANGIN
Grafik
2.16 Kecepatan Angin VS Waktu.
Pada tabel kecepatan angin
pada strata berkanopi dan tidak berkanopi dapat terlihat bahwa kecepatan angin
pada daerah yang tidak berkanopi memiliki rata-rata kecepatan angin lebih
tinggi dari kecepatan angin rata-rata strata berkanopi, dengan kecepatan rata-rata angin daerah berkanopi
yaitu 1,4 m/s, dan yang tidak berkanopi
sebesar 3,5 m/s. Dapat diketahui bahwa strataberkanopi memiliki
kecepatan angin yang cenderung konstan, karena angin terhalang oleh adanya
pohon-pohon yang menyebabkan kecepatan angin stabil. Sedangkan di daerah yang
tidak berkanopi, angin dapat leluasa bergerak karena tidak ada kanopi yang
menghalangi, sehingga kecepatan angin menjadi lebih tinggi.
D.
Intensitas Penyinaran Cahaya Matahari
Grafik 2.17
Intensitas Penyinaran Cahaya Matahari
Pada grafik intensitas
penyinaran cahaya matahari telihat pada daerah yang berkanopi pada pengukuran
awal terlihat mengalami penurunan pada pengamatan kedua. Selanjutnya mengalami
kenaikan pada pengamatan keempat, dan pada pengamatan kelima mengalami
penurunan lagi. Jika dibandingkan dengan daerah yang tidak berkanopi jumlah
penerimaan intensitas penyinaran cahaya matahari sangat tinggi dibandingkan
dengan daerah yang tidak berkanopi. Intensitas tertinggi pada daerah yang tidak
berkanopi terdapat pada pengamatan keempat sebesar 240 langlay per menit. Hal
ini sesuai dengan teori dimana intensitas cahaya matahari tertinggi terjadi di
daerah yang tidak berkanopi, sebab cahaya matahari tidak ada yang menghalangi.
VI.
KESIMPULAN
1.
Mengukur anasir mikro dapat menggunakan parameter seperti suhu tanah, suhu
udara,
kecepatan
angin dan intensitas cahaya matahari.
2.
Faktor yang mempengaruhi cuaca mikro antara lain keadaan vegetasi, bentuk
relief tanah,
sifat
tanah (tekstur, struktur, dan bahan induk), kelengasan tanah dan penutupan
lahan.
3.
Cuaca mikro di daerah kanopi memilki kelembapan yang tinggi, kecepatan angin
yang
rendah
dan kondisi suhu yang relatif stabil, sedangkan pada daerah yang tidak kanopi
memiliki
kelembapan yang rendah dan kondisi suhunya tidak stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Holton, J.R. 2004. An
Introduction to Dynamic Meteorology. Md: Elsevier Inc., Burlington.
Lakitan, B. 1994. Dasar-Dasar Klimatologi. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Landsberg, H.E. 1981. General
Climatology 3. Elsevier Scientific Publishing Company, New York.
Martono. 2006. Pengaruh perubahan
penutup lahan terhadap iklim mikro. Jurnal Lapan 76 : 1-7.
McAlister, D. David, D.T.W. Chun, G.R. Gamble, L.C. Godbey, D.R.
Cobb, and E.E. Backe. 2008. The impact
of carding micro-climate on cotton moisture content and fiber and yarn quality.
Journal of Cotton Science 9 :
97–101.
Nawawi, G. 2001. Pengendalian Iklim
Mikro. <http://psbtik.smkn1cms.net>. Diakses pada 24 September 2014.
Tjasjono, B. 1999. Klimatologi Umum.
Institut Teknologi Bandung Press. Bandung.
0 comments:
Post a Comment