BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu persoalan laten dalam
konsep ekonomi Islam adalah persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus
ditunaikan warga negara yang Muslim. Hal ini telah mengundang perdebabatan yang
berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama
fiqh memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak
mungkin dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang
Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Untuk itu, perlu diadakan kajian
kritis untuk mengintegrasikan kedua kewajiban itu sehingga kewajiban seorang
Muslim terhadap agama dan negaranya dapat terlaksana secara simultan.
Sebaliknya negara juga diuntungkan karena penerimaan negara dari sektor pajak
sesuai dengan yang diharapkan. Pada gilirannya, pengintegrasian itu perlu
diwujudkan dalam kebijakan fiskal negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kebijakan fiskal?
2. Apa saja tujuan kebijakan fiskal?
3. Bagaimana kebijkan fiskal pada awal islam?
4. Bagaimana pengaruh kebijakan fiskal terhadap subyek zakat?
5. Bagaimana instrumen dalam kebijakan fiskal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kebijakan fiscal
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk
mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada
pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Dalam fiskal ekonomi islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu
perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali,
termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan,
intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, bukan hanya untuk mencapai
keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar
jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan
ajaran islam seluas mungkin.
Beberapa hal penting dalam ekonomi islam yang berimplikasi bagi
penentuan kebijakan fiskal adalah sebagai berikut:
a) Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi islam, pemerintah
muslim harus menjamin bahwa zakat dikumpulkan dari orang-orang muslim yang
memiliki harta melebihi nisab dan yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan
dalam kitab suci Al-Qur’an.
b) Tingkat bunga tidak berperan dalam system ekonomi islam.
c) Ketika semua pinjaman dalam islam adalah bebas bunga,
pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak atau dari bagi
hasil.
d) Ekonomi islam diupayakan untuk membantu ekonomi
masyarakat muslim terbelakang dan menyebarkan pesan-pesan ajaran islam.
e) Negara islam adalah Negara yang sejahtera, kesejahteraan
meliputi aspek material dan spiritual.
f) Pada saat perang, islam berharap orang-orang itu
memberikan tidak hanya kehidupannya, tapi juga hartanya untuk menjaga agama.
g) Hak perpajakan dalam
islam tidak tak terbatas.
B. Tujuan Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal dalam islam bertujuan
untuk menciptakan masyarakat yang
didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan
nilai nilai material dan spiritual secara seimbang.[1]
Kebijakan fiscal lebih banyak peranannya dalam perekonomian islam disbanding
dengan ekonomi konvensional. Hal ini desebabkan antara lain sebagai berikut.
a. Peranan moneter relatif lebih banyak dalam ekonomi islam dibanding dalam
ekinimi koonvensional yang tidak bebas bunga. Hal ini disebabkan dua alasan:
1. Tingkat suku bunga tidak memainkan peranan apapun dalam ekonomi islam.
Kaum muslim dilarang menerima bunga pinjaman dalam bentuk apapun. Oleh karena
itu, berbagai variasi tingkat suku bunga yang merupakan bagian penting dalam
kebijakan moneter tidak ditemui dalam ekonnomi islam.
2. Islam tidak membolehka perjudian (spekulasi). Hal ini mempunyai dua
implementasi : pertama, operasional pasar terbuka (open market) tidak
akan efektif dalam ekonomi islam. Keedua, tidak
akan ada permintaan spekulatif terhadap uang ala Keynesian.
b. Dalam ekonomi islam pemerintah harus memungut zakat dari setiap muslim
yang memiliki kekayaan melebihi jumlah tertentu (nisab) dan digunakan untuk
tujuan tujuan ssebagaimana tercantum dalam QS AL-Taubah [9]:[60].
c. Ada perbedaan subtansi antara ekonomi islam dan non-Islam dalam
pengelolaan uang public. Hal ini karena utang dalam islam adalah bebas bunga (interest
free ), sebagian besar pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak atau (
dalam kasus proyek-proyek produktif ) berdasarkan atas bagi hasil. Dengan
demikian, ukuran utang public jauh lebih sedikit dalam ekonomi islam dibanding
ekonomi konvensional.
Kebijakan fiskal dalam
ekonomi islam digunakan untuk mencapai tujuan tujuan yang sama sebagai mana kebijakan
fiskal dalam ekonomi konvensional ( yaitu untuk stabilitas ekonomi, pertumbuhan
ekonomi , dan distribusi). Menurut Metwally ada tiga tujuan yang hendak dicapai
kebijakan fiskal dalam ekonomi islam.
1. Islam mendirikan tingkat kesetaraan dan demokrasi yang lebih tinggi
melalui, diantara prinsip-prinsip dan hukum lain, prinsip bahwa “ kekayaan
seharusnya tidak boleh hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja.”
2. Islam melarang pembayaran bunga dalam berbagai bentuk pinjaman.
3. Ekonomi islam mempunyai komitmen untuk membantu ekonomi masyarakat yang
kurang berkembang dan untuk menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.
C. Kebijakan Fiskal Pada Awal Islam
Secara historis, kebijakan fiscal pada awal
Islam dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu peride sebelum ekspansi dan
periode sesudah ekspansi dengan daitaklukannya wilayah yang luas bekas kerajaan
Romawi dan Persia.
Unsur-unsur penting kebijakan fiscal pada
periode pertama adalah kontribusi dari fay’ dan shadaqah.
Pelaksanaan kebijakan fiscal pada masa Rasulullah dan Abu Bakar hampir sama
karena belum banyak persoalan yang muncul seiring dengan perluasan wilayah
kekuasaan kekhalifahan Islam.
Kewajiban zakat diperintahkan kepada kaum
muslim pada tahun kedua hijrah atau 624 M.hal ini menunjukkan bahwa pada
periode Makkah, masyarakat muslim masih sedikit dan belum memerlukan sebuah
system keuangan publik. Menjelang penakhlukan kota makkah ( fath al makkah
) tahun 630 M, Negara Islam sudah mulai terkonsilidasi. Rasulullah Saw pernah
mengirim para pengumpul zakat kepada suku-suku arab. Meskipun pajak tanah telah
mulai ada pada masa Nabi Muhammad Saw, namun pajak ini merupakan sumber
pendapatan yang paling sedikit dan hanya dipraktikan sebagai hasil perjanjian
yang dibuat dengan salah satu suku yahudi. Pajak perdagangan belum dikenal
sampai pada masa pemerintahan Umar bin Khathab.
Pengumpulan jizyah juga dimulai pada masa
Rasulullah Saw. Namun pajak tersebut belum distandarisasi dalam jumlah dan pada
waktu tertentu dengan metode pengumpulan yang sistematis. Pada masa Abu Bakar,
tidak ada perubahan berarti yang dibuat, praktik pengumpulan pendapatan Negara
meneruskan tradisi yang dibuat pada masa Rasulullah Saw. Pada periode pertama
ini umat Islam telah mempunyai pemikiran tentang mata uang sendiri.
Pada periode kedua yang dimulai pada masa
khalifah Umar ibn Khathab, Negara Islam Madinah telah mulai mapan. Pada masa
Umar ini dibentuk lembaga-lembaga yang mengelola administrasi kekayaan Negara.
Salah satu lembaga yang didirikan Umar adalah diwan yang diadopsi dari
praktik pemerintahan Persia. Selain itu dikenal pula bait al-mal yang
sebelumnya telah ada pada masa Nabi Muhammad Saw. Bait al mal memiliki
beberapa kebijakan, antara lain:
1. Diantara liabilitas, pembayaran utang mendapat pprioritas utama.
2. Jika bait al-mal mengalami defisit anggaran, bait al-mal
dibolehkan meminjam dari publik.
3. Jika bait al-mal mengalami surplus, ada beberapa pendapat tentang jenis
penggunaan kelebihan itu. Menurt Abu Hanifah, surplus tersebut harus disimpan
sebagai dana cadangan. Sebaliknya, menurut Syafi’I dana surplus tersebut
hendaknya digunakan untuk dana kesejahteraan social, sementara untuk dana
cadangan adalah tanggung jawab masyarakat untuk mengadakannya jika dibutuhkan.
Lembaga lainnya yang didiran oleh Umar adalah diwan militer yang
bertugas untuk mengelola administrasi militer dan pembayaran tunjangan mereka.
Khalifah Umar juga menunjuk komite yang terdiri dari nassab ternama (
orang yang ahli dalam sejarah keluarga dan keturunan ) untuk membuat laporan
sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.
D. Pengaruh
Kebijakan Fiskal Terhadap Subyek Zakat
Para
ulama fiqh sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan kepada seorang Muslim dewasa
yang waras, merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan
syarat-syarat tertentu pula (Qardhawi. 1997: 96). Menurut ulama Fiqh, zakat
tidak diwajibkan kepada non-Muslim, karena zakat merupakan “anggota tubuh”
Islam yang paling utama, dan karena itu orang kafir tidak mungkin diminta
menunaikannya, serta bukan pula merupakan hutang yang harus dibayarnya setelah
masuk Islam.
Hal ini
tentu menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat, karena warga negara Muslim
diwajibkan membayar zakat, sementara warga negara non-Muslim tidak memikul
kewajiban tersebut. Dalam konteks kebijakan fiskal negara, tidak boleh ada
diskriminasi terhadap warga negara dalam memberikan kewajiban kepada negara,
termasuk dalam hal perpajakan.
Dengan
demikian, jika zakat menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal negara, maka
sekat-sekat diskriminasi dalam hukum zakat hendaknya dapat diselesaikan, agar
semua warga negara sama kedudukannya dalam memenuhi kewajibannya kepada negara.
Untuk
menyelesaikan persoalan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa warga non-Muslim
dikenakan jizyah sebagai penyeimbang zakat yang dibayarkan oleh warga Muslim.
Hal ini telah dipraktekkan pada masa-masa awal Islam, di mana warga non-Muslim
(zimmi) diwajibkan membayar jizyah kepada negara sebagai imbalan atas jaminan
perlindungan yang mereka terima. Namun, hal ini tentu tidak relevan lagi di
masa sekarang karena semua warga negara memiliki kewajiban yang sama dalam
suatu negara dan sudah jarang dikenal lagi istilah kafir zimmi dalam suatu
negara berpenduduk Muslim.
Persoalan
ini dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi agama-agama.
Zakat merupakan kewajiban keagamaan yang bukan inovasi Al-Qur`an. Konsep
pembayaran pajak keagamaan telah ada di Babilonia kuno yang harus dibayarkan
oleh semua kelas penduduk dari raja sampai rakyat biasa. Pembayaran tersebut dapat
berupa hasil pertanian maupun dalam bentuk uang (Zaman, 1996: 167).
Kewajiban
zakat atau pajak keagamaan ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (Lev.
27:30; Deut. 14:22; Num. 18:21; Neh. 11:37). Dalam Al-Qur`an pun berulangkali
disebutkan bahwa umat-umat terdahulu juga dikenakan kewajiban untuk membayar
zakat. Hanya saja, mengingat perbedaan latar belakang kehidupan sosial ekonomi
pada waktu turunnya perintah zakat tersebut, maka obyek dan jumlah zakat yang
dikeluarkan berbeda dengan konsep zakat dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad
Saw. Selain itu, pembayaran zakat dalam Perjanjian Lama murni dimaksudkan untuk
lembaga-lembaga keagamaan, sementara dalam Al-Qur`an zakat ditujukan untuk
memberikan dukungan ekonomis kepada masyarakat dan bukan kepada hirarki
institusi keagamaan, seperti kepada pendeta dalam tradisi non-Muslim (Zaman,
1996:168-169).
Meskipun
demikian, dapat ditarik sebuah “benang merah” bahwa perintah zakat merupakan
perintah yang universal. Dengan demikian, dalam konteks kebijakan fiskal
negara, pajak keagamaan (Islam: zakat) dapat dikenakan kepada seluruh warga
negara, tanpa melakukan diskriminasi keagamaan.
Di
samping itu, secara historis hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin
Khatab yang juga memungut zakat dari kaum Nasrani Bani Taghlib. Pada mulanya,
Umar telah memutuskan untuk menarik jizyah dari mereka, tetapi mereka
memprotesnya. Akhirnya, Umar memerintahkan untuk memungut zakat dengan
melipatgandakan jumlah zakat yang harus mereka bayar (Qardhawi, 1997: 100-102).
Lagi pula, mereka memang diperintahkan oleh agama mereka untuk berzakat, yaitu
berbuat baik kepada orang-orang yang melarat. Dengan demikian, apabila mereka
dibebani dengan zakat, maka sesungguhnya mereka hanya dibebani dengan sesuatu
yang sejak mula sudah disyariatkan oleh agama mereka. Terlebih lagi, dalam
pendistribusian dana zakat, Islam tidak mengenal adanya diskriminasi antara
Muslim dan non-Muslim apabila sesuai dengan kriteria sasaran pendistribusian
zakat.
Selain
subyek zakat yang berupa individu (person), zakat juga dapat dikenakan kepada
badan hukum (recht person) sebagaimana halnya pajak. Badan-badan hukum tersebut
seperti perusahaan-perusahaan yang memiliki kekayaan baik berupa benda bergerak
maupun tidak bergerak. Zakat yang dikenakan kepada badan-badan hukum tersebut
diambil dari saham dan keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut (Qardhawi,
1997: 490-497).
E. Instrumen Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk
membelanjakan pendapatanya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Dan
kebijakan fiskal ini tersebut memiliki dua instrumen, pertama: kebijakan
pendapatan, kedua: kebijakan belanja.
1. Kebijakan Pendapatan
a) Kebijakan Fiskal Pada masa Nabi Muhammad SAW. Rasulullah
menanamkan prinsip saling membantu terhadap kebutuhan saudaranya selama
memimpin di mekah. Setelah Rasulullah dimadinah, dalam waktu yang singkat
Madinah mengalami pertumbuhan yang cepat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip
pemerintahan dan organisasi, membangun intitusi-intitusi, mengarahkan urusan
luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya
melepaskan jabatanya secara penuh. Sebagai kepala Negara yang baru terbentuk,
ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian beliau, seperti (1) membangun
masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya; (2)
merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah; (3) menciptakan kedamaian dalam
Negara; (4) mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya; (5) membuat
konstitusi Negara; (6) menyusun system pertahanan madinah; (7) meletakan
dasar-dasar sistem keuangan Negara. Bersamaan dengan persyariatan zakat,
pemasukan lainpun mulai terlembagakan, mulai dari ghonimah perang Badar,
kemudian perang-perang berikutnya. Pemasukan lainya yang dilembagakan adalah jizyah,
dalam satu riwayat disebutkan terkumpul sebanyak dua ribu hullah.
Rasulullahpun mengkhususkan area untuk kemaslahatan umum, seperti tempat
penggembalaan kuda-kuda perang, bahkan mementukan beberapa orang petugas untuk
menjaga harta kekayaan negara seperti kekayaan hasil bumi khaibar yang
dipercayakan kepada Abdullah bin Rawahah, sedangkan tugas penjagaan baitul maal
dan pendistribusiaanya di amanahkan kepada Abi Rafi’ dan bilal, sementara
ternak
pembayaran zakat diamanahkan kepada salah seorang dari Bani Giffar.
pembayaran zakat diamanahkan kepada salah seorang dari Bani Giffar.
(b) Kebijakan Fiskal Pada masa
Khulafaur Rasyidin
Seiring dengan perluasan kekusaan pemerintahan islam, maka pemasukan
Ghonimah, fai’,
dan pemasukan lainnya semakin meningkat. Kemudian penetapan pos pemasukan “kharaj” terhadap tanah iraq dengan bersandar pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Khaibar, dan atas keputusan ijma sahabat. Hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan umar bin khatab. Untuk pertama kalinya pemasukan zakat ditransfer ke pemerintahan pusat, hal tersebut terjadi ketika Muadz Bin Jabal mengirim sepertiga hasil zakat dearah Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Ditahun berikutnya Muadz mengirim setengah hasil zakat Yaman. Dan kembali Umar menolaknya sehingga pada tahun berikutnya Muadz mengirim seluruh hasil zakat dan berkata kepada Umar, bahwa di Yaman sudah tidak ada lagi Mustahiq zakat, kemudian Umarpun menerima hal tersebut dan selanjutnya Umar mensuplai hasil surplus zakat suatu dearah ke daerah yang mengalami defisit. Sumber lainnya yang ditetapkan pada zaman Umar adalah ”al usyur” dari perdagangan import yang di kelola oleh kaum kafir Harbi (orang non- Muslim yan tinggal di negara yang memerangi Islam).
dan pemasukan lainnya semakin meningkat. Kemudian penetapan pos pemasukan “kharaj” terhadap tanah iraq dengan bersandar pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Khaibar, dan atas keputusan ijma sahabat. Hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan umar bin khatab. Untuk pertama kalinya pemasukan zakat ditransfer ke pemerintahan pusat, hal tersebut terjadi ketika Muadz Bin Jabal mengirim sepertiga hasil zakat dearah Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Ditahun berikutnya Muadz mengirim setengah hasil zakat Yaman. Dan kembali Umar menolaknya sehingga pada tahun berikutnya Muadz mengirim seluruh hasil zakat dan berkata kepada Umar, bahwa di Yaman sudah tidak ada lagi Mustahiq zakat, kemudian Umarpun menerima hal tersebut dan selanjutnya Umar mensuplai hasil surplus zakat suatu dearah ke daerah yang mengalami defisit. Sumber lainnya yang ditetapkan pada zaman Umar adalah ”al usyur” dari perdagangan import yang di kelola oleh kaum kafir Harbi (orang non- Muslim yan tinggal di negara yang memerangi Islam).
2. Kebijakan Belanja
Kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Quran dan Assunnah dalam
memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut, antara lain
sebagai berikut:
1. Timbangan kebijakan pengeluaran atau belanja pemerintah harus senantiasa
mengikuti kaidah maslahah.
2. Menghindari Masyaqqah kesulitan dan madhorot harus didahulukan ketimbang
melakukan pembenahan.
3. Madhorot individu dapat dijadikan alasan demi menghindari madhorot dalam
skala umum.
4. Pengorbanan individu dapat dikorbankan demi menghindarkan kerugian dan
pengorbanan dalam skala umum
5. Kaidah ”Algiurmu bil gunmi” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang
mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban.
6. Kaidah ”ma la yatimmu Al waajibu illa bihifahua wajib” yaitu kaidah yang
menyatakan bahwa “sesuatu hal yang wajib ditegakan, tanpa ditunjang oleh faktor
penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka meninggalkan faktor penunjang
tersebut menjadi wajib hukumnya.
Dan adapun tujuan pembelanjaan pemerintah dalam islam adalah sebagai
berikut:
1. Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2. Pengeluaran sebagai alat Redistribusi kekayaan.
3. Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
4. Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5. Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan
intervensi pasar.
Secara lebih rinci Pembelanjaan Negara harus didasarkan pada hal-hal
berikut ini:
1. Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak
boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat
tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2. Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan
sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya
jauh dari sifat mubazir dan kikir disamping alokasinya pada sektor-sektor yang
tidak bertentangan dengan syariah.
3. Kaidah yang tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan,
walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin.
4. Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja
Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
5. Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai
dari yang wajib, sunnah dan mubah, atau dhoruroh, hajiyyat dan kamaliyyah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah
yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif
pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka
kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat
meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya
beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran
lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian.
Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal
Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya
lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus
dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas
(overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran Berimbang (Balanced
Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama
besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya
kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang mempengaruhi anggaran pendapatan
belanja suatu negara (APBN). Kebijakan ini bersama kebijakan lainnya seperti:
kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan perdagangan diperlukan untuk
mengoreksi gangguan-gangguan yang menghambat jalnnya roda perekonomian. Maklum
sistem ekonomi kapitalis sangat bergantung pada jalannya mekanisme pasar. Bila
terjadi gangguan-gangguan terhadap jalnnya mekasinme pasar, maka diperlukan
berbagai macam usaha untuk mengoreksi jalannya perekonomian, agar mekanisme
pasar berjalan dengan sempurna. Dalam Islam kita mengenal konsep zakat, infaq,
shadaqah, wakaf, dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk
mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi
syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah
ditentukan dalam syariah Islam.
Sementara untuk infaq, shadaqah, dan wakaf merupakan pengeluaran
“sukarela” yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan
unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Pembagian dalam kegiatan
“wajib dan sukarela” ini khas didalam sistem ekonomi Islam, yang membedakannya
dalam sistem ekonomi pasar.
Dalam sistem ekonomi pasar, disana tidak ada sektor sukarela. Tujuan
utama dari kegiatan zakat -berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi pasar- adalah
menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan
distribusi, maka analisa kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan
untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya
ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi. Penelitian-penelitian yang berkaitan
dengan dampak kegiatan zakat didalam suatu perekonomian dewasa ini belum banyak
berkembang. Karena unsur zakat dalam sistem ekonomi konvensional bukan
merupakan suatu variabel utama dalam struktur teori yang ada.
Dalam struktur ekonomi konvenisonal, unsur utama dari kebijakan fiskal
adalah unsur-unsur yang berasal dari berbagai jenis pajak sebagai sumber
penerimaan pemerintah dan unsur-unsur yang berkaitan dengan variabel
pengeluaran pemerintah. Tidak ada unsur zakat di dlaam data Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), karena memamng kegitan zakat belum termasuk dalam
catatan statistik resmi pemerintah. Pelaksanaan zakat selama ini lebih
merupakan kegiatan masyarakat yang ingin mensucikan hartanya. Dengan demikian
diperlukan berbagai macam penelitian yang berkaitan dengan dampak alokasi,
distribusi serta stabilisasi kegiatan zakat sebagai salah satu unsur kebijakan
fiskal dalam sistem ekonomi. Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata
untuk duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi dan lainnya,
tetapi juga mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat. Hal inilah yang
membedakan kebajikan fiskal dalam Islam dengan kebajikan fiskal dalam sistem
ekonomi pasar.
Didalam Al Qur’an surat
At Taubah ayat 103 disebutkan:
“Ambillah zakat dari sebagian harta, yang dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka karena sesungguhnya
doamu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. (Q.S At-Taubah : 103).
Sementara itu dampak untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti
shadaqah dan lain-lain juga termaktub di dalam AL Qur’an :
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) oleh orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang tumbuh tujuh tangkai,
pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi
siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”. (Q.S Al Baqarah : 261).
Dlam Qur’an diperkirakan terdapat 30 Ayat yang berkiatn dengan perintah
untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering muncul berdampingan sesudah
perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya
kegiatan berzakat setingkat dengan pentingnya shalat dalam Islam.
Kemudian, bukankah salah satu arti dari kata zakat adalah ‘berkembang’
?? kalu pada saat ini dampaknya terhadapa kegiatan ekonomi di Indonesia masih
kecil, maka ini tentunya disebabkan oleh beberapa hal. Pengeluaran zakat adalah
pengeluaran minimal untuk membuat distribusi pendapatan menjadi lebih merata
tetapi belum optimal. Oleh karena itu diperlukan pengeluaran-pengeluaran lain
yang melengkapi pengeluaran zakat tersebut seperti shadaqah, wakf sedemikian,
sehingga dampaknya terhadap distribusi pendaptan menjadi optimal. Selain itu
mengapa dampak ekonomi zakat masih kecil,, karena zakat selama ini belum
dikelola secara baik dan profesional di samping masih rendahnya kesadaran
masyarakat untuk berzakat secara benar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal dalam
islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi
kekayaan dengan menempatkan nilai nilai material dan spiritual secara seimbang.
Kebijakan fiskal pada awal Islam dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu
peride sebelum ekspansi dan periode sesudah ekspansi.
DAFTAR PUSTAKA
0 comments:
Post a Comment