7/18/15

FIQH ZAKAT

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam adalah persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Hal ini telah mengundang perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar ulama fiqh memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim terhadap Tuhannya, sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Untuk itu, perlu diadakan kajian kritis untuk mengintegrasikan kedua kewajiban itu sehingga kewajiban seorang Muslim terhadap agama dan negaranya dapat terlaksana secara simultan. Sebaliknya negara juga diuntungkan karena penerimaan negara dari sektor pajak sesuai dengan yang diharapkan. Pada gilirannya, pengintegrasian itu perlu diwujudkan dalam kebijakan fiskal negara.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian kebijakan fiskal?
2.      Apa saja tujuan kebijakan fiskal?
3.      Bagaimana kebijkan fiskal pada awal islam?
4.      Bagaimana pengaruh kebijakan fiskal terhadap subyek zakat?
5.      Bagaimana instrumen dalam kebijakan fiskal?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian kebijakan fiscal
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Dalam fiskal ekonomi islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.
Beberapa hal penting dalam ekonomi islam yang berimplikasi bagi penentuan kebijakan fiskal adalah sebagai berikut:
a)  Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi islam, pemerintah muslim harus menjamin bahwa zakat dikumpulkan dari orang-orang muslim yang memiliki harta melebihi nisab dan yang digunakan untuk maksud yang dikhususkan dalam kitab suci Al-Qur’an.
b)  Tingkat bunga tidak berperan dalam system ekonomi islam.
c)   Ketika semua pinjaman dalam islam adalah bebas bunga, pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak atau dari bagi hasil.
d)   Ekonomi islam diupayakan untuk membantu ekonomi masyarakat muslim terbelakang dan menyebarkan pesan-pesan ajaran islam.
e)   Negara islam adalah Negara yang sejahtera, kesejahteraan meliputi aspek material dan spiritual.
f)    Pada saat perang, islam berharap orang-orang itu memberikan tidak hanya kehidupannya, tapi juga hartanya untuk menjaga agama.
g)   Hak perpajakan dalam islam tidak tak terbatas.

B.     Tujuan Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal dalam islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang  didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai nilai material dan spiritual secara seimbang.[1] Kebijakan fiscal lebih banyak peranannya dalam perekonomian islam disbanding dengan ekonomi konvensional. Hal ini desebabkan antara lain sebagai berikut.
a.       Peranan moneter relatif lebih banyak dalam ekonomi islam dibanding dalam ekinimi koonvensional yang tidak bebas bunga. Hal ini disebabkan dua alasan:
1.      Tingkat suku bunga tidak memainkan peranan apapun dalam ekonomi islam. Kaum muslim dilarang menerima bunga pinjaman dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, berbagai variasi tingkat suku bunga yang merupakan bagian penting dalam kebijakan moneter tidak ditemui dalam ekonnomi islam.
2.      Islam tidak membolehka perjudian (spekulasi). Hal ini mempunyai dua implementasi : pertama, operasional pasar terbuka (open market) tidak akan efektif dalam ekonomi islam. Keedua, tidak  akan ada permintaan spekulatif terhadap uang ala Keynesian.
b.      Dalam ekonomi islam pemerintah harus memungut zakat dari setiap muslim yang memiliki kekayaan melebihi jumlah tertentu (nisab) dan digunakan untuk tujuan tujuan ssebagaimana tercantum dalam QS AL-Taubah [9]:[60].
c.       Ada perbedaan subtansi antara ekonomi islam dan non-Islam dalam pengelolaan uang public. Hal ini karena utang dalam islam adalah bebas bunga (interest free ), sebagian besar pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak atau ( dalam kasus proyek-proyek produktif ) berdasarkan atas bagi hasil. Dengan demikian, ukuran utang public jauh lebih sedikit dalam ekonomi islam dibanding ekonomi konvensional.
Kebijakan fiskal dalam ekonomi islam digunakan untuk mencapai tujuan tujuan yang sama sebagai mana kebijakan fiskal dalam ekonomi konvensional ( yaitu untuk stabilitas ekonomi, pertumbuhan ekonomi , dan distribusi). Menurut Metwally ada tiga tujuan yang hendak dicapai kebijakan fiskal dalam ekonomi islam.
1.      Islam mendirikan tingkat kesetaraan dan demokrasi yang lebih tinggi melalui, diantara prinsip-prinsip dan hukum lain, prinsip bahwa “ kekayaan seharusnya tidak boleh hanya beredar  diantara orang-orang kaya saja.”
2.      Islam melarang pembayaran bunga dalam berbagai bentuk pinjaman.
3.      Ekonomi islam mempunyai komitmen untuk membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang dan untuk menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.
C.     Kebijakan Fiskal Pada Awal Islam
Secara historis, kebijakan fiscal pada awal Islam dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu peride sebelum ekspansi dan periode sesudah ekspansi dengan daitaklukannya wilayah yang luas bekas kerajaan Romawi dan Persia.
Unsur-unsur penting kebijakan fiscal pada periode pertama adalah kontribusi dari fay’ dan shadaqah. Pelaksanaan kebijakan fiscal pada masa Rasulullah dan Abu Bakar hampir sama karena belum banyak persoalan yang muncul seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam.
Kewajiban zakat diperintahkan kepada kaum muslim pada tahun kedua hijrah atau 624 M.hal ini menunjukkan bahwa pada periode Makkah, masyarakat muslim masih sedikit dan belum memerlukan sebuah system keuangan publik. Menjelang penakhlukan kota makkah ( fath al makkah ) tahun 630 M, Negara Islam sudah mulai terkonsilidasi. Rasulullah Saw pernah mengirim para pengumpul zakat kepada suku-suku arab. Meskipun pajak tanah telah mulai ada pada masa Nabi Muhammad Saw, namun pajak ini merupakan sumber pendapatan yang paling sedikit dan hanya dipraktikan sebagai hasil perjanjian yang dibuat dengan salah satu suku yahudi. Pajak perdagangan belum dikenal sampai pada masa pemerintahan Umar bin Khathab.
Pengumpulan jizyah juga dimulai pada masa Rasulullah Saw. Namun pajak tersebut belum distandarisasi dalam jumlah dan pada waktu tertentu dengan metode pengumpulan yang sistematis. Pada masa Abu Bakar, tidak ada perubahan berarti yang dibuat, praktik pengumpulan pendapatan Negara meneruskan tradisi yang dibuat pada masa Rasulullah Saw. Pada periode pertama ini umat Islam telah mempunyai pemikiran tentang mata uang sendiri.
Pada periode kedua yang dimulai pada masa khalifah Umar ibn Khathab, Negara Islam Madinah telah mulai mapan. Pada masa Umar ini dibentuk lembaga-lembaga yang mengelola administrasi kekayaan Negara. Salah satu lembaga yang didirikan Umar adalah diwan yang diadopsi dari praktik pemerintahan Persia. Selain itu dikenal pula bait al-mal yang sebelumnya telah ada pada masa Nabi Muhammad Saw. Bait al mal memiliki beberapa kebijakan, antara lain:
1.      Diantara liabilitas, pembayaran utang mendapat pprioritas utama.
2.      Jika bait al-mal mengalami defisit anggaran, bait al-mal dibolehkan meminjam dari publik.
3.      Jika bait al-mal mengalami surplus, ada beberapa pendapat tentang jenis penggunaan kelebihan itu. Menurt Abu Hanifah, surplus tersebut harus disimpan sebagai dana cadangan. Sebaliknya, menurut Syafi’I dana surplus tersebut hendaknya digunakan untuk dana kesejahteraan social, sementara untuk dana cadangan adalah tanggung jawab masyarakat untuk mengadakannya jika dibutuhkan.
Lembaga lainnya yang didiran oleh Umar adalah diwan militer yang bertugas untuk mengelola administrasi militer dan pembayaran tunjangan mereka. Khalifah Umar juga menunjuk komite yang terdiri dari nassab ternama ( orang yang ahli dalam sejarah keluarga dan keturunan ) untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.
D.    Pengaruh Kebijakan Fiskal Terhadap Subyek Zakat
Para ulama fiqh sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan kepada seorang Muslim dewasa yang waras, merdeka, dan memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dengan syarat-syarat tertentu pula (Qardhawi. 1997: 96). Menurut ulama Fiqh, zakat tidak diwajibkan kepada non-Muslim, karena zakat merupakan “anggota tubuh” Islam yang paling utama, dan karena itu orang kafir tidak mungkin diminta menunaikannya, serta bukan pula merupakan hutang yang harus dibayarnya setelah masuk Islam.
Hal ini tentu menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat, karena warga negara Muslim diwajibkan membayar zakat, sementara warga negara non-Muslim tidak memikul kewajiban tersebut. Dalam konteks kebijakan fiskal negara, tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga negara dalam memberikan kewajiban kepada negara, termasuk dalam hal perpajakan.
Dengan demikian, jika zakat menjadi instrumen dalam kebijakan fiskal negara, maka sekat-sekat diskriminasi dalam hukum zakat hendaknya dapat diselesaikan, agar semua warga negara sama kedudukannya dalam memenuhi kewajibannya kepada negara.
Untuk menyelesaikan persoalan ini, sebagian ulama berpendapat bahwa warga non-Muslim dikenakan jizyah sebagai penyeimbang zakat yang dibayarkan oleh warga Muslim. Hal ini telah dipraktekkan pada masa-masa awal Islam, di mana warga non-Muslim (zimmi) diwajibkan membayar jizyah kepada negara sebagai imbalan atas jaminan perlindungan yang mereka terima. Namun, hal ini tentu tidak relevan lagi di masa sekarang karena semua warga negara memiliki kewajiban yang sama dalam suatu negara dan sudah jarang dikenal lagi istilah kafir zimmi dalam suatu negara berpenduduk Muslim.
Persoalan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan fenomenologi agama-agama. Zakat merupakan kewajiban keagamaan yang bukan inovasi Al-Qur`an. Konsep pembayaran pajak keagamaan telah ada di Babilonia kuno yang harus dibayarkan oleh semua kelas penduduk dari raja sampai rakyat biasa. Pembayaran tersebut dapat berupa hasil pertanian maupun dalam bentuk uang (Zaman, 1996: 167).
Kewajiban zakat atau pajak keagamaan ini juga dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama (Lev. 27:30; Deut. 14:22; Num. 18:21; Neh. 11:37). Dalam Al-Qur`an pun berulangkali disebutkan bahwa umat-umat terdahulu juga dikenakan kewajiban untuk membayar zakat. Hanya saja, mengingat perbedaan latar belakang kehidupan sosial ekonomi pada waktu turunnya perintah zakat tersebut, maka obyek dan jumlah zakat yang dikeluarkan berbeda dengan konsep zakat dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Selain itu, pembayaran zakat dalam Perjanjian Lama murni dimaksudkan untuk lembaga-lembaga keagamaan, sementara dalam Al-Qur`an zakat ditujukan untuk memberikan dukungan ekonomis kepada masyarakat dan bukan kepada hirarki institusi keagamaan, seperti kepada pendeta dalam tradisi non-Muslim (Zaman, 1996:168-169).
Meskipun demikian, dapat ditarik sebuah “benang merah” bahwa perintah zakat merupakan perintah yang universal. Dengan demikian, dalam konteks kebijakan fiskal negara, pajak keagamaan (Islam: zakat) dapat dikenakan kepada seluruh warga negara, tanpa melakukan diskriminasi keagamaan.
Di samping itu, secara historis hal ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab yang juga memungut zakat dari kaum Nasrani Bani Taghlib. Pada mulanya, Umar telah memutuskan untuk menarik jizyah dari mereka, tetapi mereka memprotesnya. Akhirnya, Umar memerintahkan untuk memungut zakat dengan melipatgandakan jumlah zakat yang harus mereka bayar (Qardhawi, 1997: 100-102). Lagi pula, mereka memang diperintahkan oleh agama mereka untuk berzakat, yaitu berbuat baik kepada orang-orang yang melarat. Dengan demikian, apabila mereka dibebani dengan zakat, maka sesungguhnya mereka hanya dibebani dengan sesuatu yang sejak mula sudah disyariatkan oleh agama mereka. Terlebih lagi, dalam pendistribusian dana zakat, Islam tidak mengenal adanya diskriminasi antara Muslim dan non-Muslim apabila sesuai dengan kriteria sasaran pendistribusian zakat.
Selain subyek zakat yang berupa individu (person), zakat juga dapat dikenakan kepada badan hukum (recht person) sebagaimana halnya pajak. Badan-badan hukum tersebut seperti perusahaan-perusahaan yang memiliki kekayaan baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Zakat yang dikenakan kepada badan-badan hukum tersebut diambil dari saham dan keuntungan perusahaan-perusahaan tersebut (Qardhawi, 1997: 490-497).
E.     Instrumen Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatanya dalam merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Dan kebijakan fiskal ini tersebut memiliki dua instrumen, pertama: kebijakan pendapatan, kedua: kebijakan belanja.
1. Kebijakan Pendapatan
a)  Kebijakan Fiskal Pada masa Nabi Muhammad SAW. Rasulullah menanamkan prinsip saling membantu terhadap kebutuhan saudaranya selama memimpin di mekah. Setelah Rasulullah dimadinah, dalam waktu yang singkat Madinah mengalami pertumbuhan yang cepat. Dengan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan dan organisasi, membangun intitusi-intitusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatanya secara penuh. Sebagai kepala Negara yang baru terbentuk, ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian beliau, seperti (1) membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya; (2) merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah; (3) menciptakan kedamaian dalam Negara; (4) mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya; (5) membuat konstitusi Negara; (6) menyusun system pertahanan madinah; (7) meletakan dasar-dasar sistem keuangan Negara. Bersamaan dengan persyariatan zakat, pemasukan lainpun mulai terlembagakan, mulai dari ghonimah perang Badar, kemudian perang-perang berikutnya. Pemasukan lainya yang dilembagakan adalah jizyah, dalam satu riwayat disebutkan terkumpul sebanyak dua ribu hullah.
Rasulullahpun mengkhususkan area untuk kemaslahatan umum, seperti tempat penggembalaan kuda-kuda perang, bahkan mementukan beberapa orang petugas untuk menjaga harta kekayaan negara seperti kekayaan hasil bumi khaibar yang dipercayakan kepada Abdullah bin Rawahah, sedangkan tugas penjagaan baitul maal dan pendistribusiaanya di amanahkan kepada Abi Rafi’ dan bilal, sementara ternak
pembayaran zakat diamanahkan kepada salah seorang dari Bani Giffar.
            (b)  Kebijakan Fiskal Pada masa Khulafaur Rasyidin
Seiring dengan perluasan kekusaan pemerintahan islam, maka pemasukan Ghonimah, fai’,
dan pemasukan lainnya semakin meningkat. Kemudian penetapan pos pemasukan “kharaj” terhadap tanah iraq dengan bersandar pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Khaibar, dan atas keputusan ijma sahabat. Hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan umar bin khatab. Untuk pertama kalinya pemasukan zakat ditransfer ke pemerintahan pusat, hal tersebut terjadi ketika Muadz Bin Jabal mengirim sepertiga hasil zakat dearah Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Ditahun berikutnya Muadz mengirim setengah hasil zakat Yaman. Dan kembali Umar menolaknya sehingga pada tahun berikutnya Muadz mengirim seluruh hasil zakat dan berkata kepada Umar, bahwa di Yaman sudah tidak ada lagi Mustahiq zakat, kemudian Umarpun menerima hal tersebut dan selanjutnya Umar mensuplai hasil surplus zakat suatu dearah ke daerah yang mengalami defisit. Sumber lainnya yang ditetapkan pada zaman Umar adalah ”al usyur” dari perdagangan import yang di kelola oleh kaum kafir Harbi (orang non- Muslim yan tinggal di negara yang memerangi Islam).
2. Kebijakan Belanja
Kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Quran dan Assunnah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut, antara lain sebagai berikut:
1.      Timbangan kebijakan pengeluaran atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah maslahah.
2.      Menghindari Masyaqqah kesulitan dan madhorot harus didahulukan ketimbang melakukan pembenahan.
3.      Madhorot individu dapat dijadikan alasan demi menghindari madhorot dalam skala umum.
4.      Pengorbanan individu dapat dikorbankan demi menghindarkan kerugian dan pengorbanan dalam skala umum
5.      Kaidah ”Algiurmu bil gunmi” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban.
6.      Kaidah ”ma la yatimmu Al waajibu illa bihifahua wajib” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa “sesuatu hal yang wajib ditegakan, tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka meninggalkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.
Dan adapun tujuan pembelanjaan pemerintah dalam islam adalah sebagai berikut:
1.      Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
2.      Pengeluaran sebagai alat Redistribusi kekayaan.
3.      Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
4.      Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
5.      Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.
Secara lebih rinci Pembelanjaan Negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini:
1.      Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
2.      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubazir dan kikir disamping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.
3.      Kaidah yang tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin.
4.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
5.      Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib, sunnah dan mubah, atau dhoruroh, hajiyyat dan kamaliyyah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1.      Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
   2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
            3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang mempengaruhi anggaran pendapatan belanja suatu negara (APBN). Kebijakan ini bersama kebijakan lainnya seperti: kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan perdagangan diperlukan untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang menghambat jalnnya roda perekonomian. Maklum sistem ekonomi kapitalis sangat bergantung pada jalannya mekanisme pasar. Bila terjadi gangguan-gangguan terhadap jalnnya mekasinme pasar, maka diperlukan berbagai macam usaha untuk mengoreksi jalannya perekonomian, agar mekanisme pasar berjalan dengan sempurna. Dalam Islam kita mengenal konsep zakat, infaq, shadaqah, wakaf, dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditentukan dalam syariah Islam.
Sementara untuk infaq, shadaqah, dan wakaf merupakan pengeluaran “sukarela” yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal. Pembagian dalam kegiatan “wajib dan sukarela” ini khas didalam sistem ekonomi Islam, yang membedakannya dalam sistem ekonomi pasar.
Dalam sistem ekonomi pasar, disana tidak ada sektor sukarela. Tujuan utama dari kegiatan zakat -berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi pasar- adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisa kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya ekonomi dan stabilisasi kegiatan ekonomi. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan dampak kegiatan zakat didalam suatu perekonomian dewasa ini belum banyak berkembang. Karena unsur zakat dalam sistem ekonomi konvensional bukan merupakan suatu variabel utama dalam struktur teori yang ada.
Dalam struktur ekonomi konvenisonal, unsur utama dari kebijakan fiskal adalah unsur-unsur yang berasal dari berbagai jenis pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dan unsur-unsur yang berkaitan dengan variabel pengeluaran pemerintah. Tidak ada unsur zakat di dlaam data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), karena memamng kegitan zakat belum termasuk dalam catatan statistik resmi pemerintah. Pelaksanaan zakat selama ini lebih merupakan kegiatan masyarakat yang ingin mensucikan hartanya. Dengan demikian diperlukan berbagai macam penelitian yang berkaitan dengan dampak alokasi, distribusi serta stabilisasi kegiatan zakat sebagai salah satu unsur kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi. Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi juga mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat. Hal inilah yang membedakan kebajikan fiskal dalam Islam dengan kebajikan fiskal dalam sistem ekonomi pasar.
Didalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 103 disebutkan:
“Ambillah zakat dari sebagian harta, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S At-Taubah : 103).
Sementara itu dampak untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti shadaqah dan lain-lain juga termaktub di dalam AL Qur’an :
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang tumbuh tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S Al Baqarah : 261).
Dlam Qur’an diperkirakan terdapat 30 Ayat yang berkiatn dengan perintah untuk mengeluarkan zakat. Perintah berzakat sering muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya kegiatan berzakat setingkat dengan pentingnya shalat dalam Islam.
Kemudian, bukankah salah satu arti dari kata zakat adalah ‘berkembang’ ?? kalu pada saat ini dampaknya terhadapa kegiatan ekonomi di Indonesia masih kecil, maka ini tentunya disebabkan oleh beberapa hal. Pengeluaran zakat adalah pengeluaran minimal untuk membuat distribusi pendapatan menjadi lebih merata tetapi belum optimal. Oleh karena itu diperlukan pengeluaran-pengeluaran lain yang melengkapi pengeluaran zakat tersebut seperti shadaqah, wakf sedemikian, sehingga dampaknya terhadap distribusi pendaptan menjadi optimal. Selain itu mengapa dampak ekonomi zakat masih kecil,, karena zakat selama ini belum dikelola secara baik dan profesional di samping masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk berzakat secara benar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal dalam islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang  didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai nilai material dan spiritual secara seimbang.
Kebijakan fiskal pada awal Islam dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu peride sebelum ekspansi dan periode sesudah ekspansi.











DAFTAR PUSTAKA



[1] M.A Mannan. Islamic Economics Theory and Pratice ( Delhi: Idarah-I Adabiyah-I, 1980), hlm. 309 

0 comments:

Post a Comment

KOMISARIAT PERSIAPAN HMI AGROKOMPLEKS UGM
Powered by Blogger.

Recent Post

Total Pageviews

KOMISARIAT PERSIAPAN HMI AGROKOMPLEKS UGM