PEMBANGUNAN KEMARITIMAN DALAM KONTEKS HANKAM
ZAKI ABDURRAHMAN
CABANG BULAKSUMUR
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan (archipelagic sffffrrir......ertate) terluas di dunia. Secara geografis hampir 70% wilayah Indonesia merupakan perairan dengan kekayaaan laut yang melimpah, mulai dari potensi perikanan, industri kelautan, jasa kelautan, transportasi, maupun wisata bahari. Indonesia mempunyai 17.504 pulau dengan panjang garis pantai 104.000 KM dan terletak diantara dua samudra maupun dua benua. Hampir 2000 jenis spesies ikan dari 7000 spesies ikan dunia ada di Indonesia. Seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia-Pasifik, 70% perdagangan dunia berada di Asia-Pasifik. Sekitar 75% produk dan komoditas perdagangan di transportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$ 1.300 triliun per tahun. Panorama pesisir pantai Indonesia ikut mendukung potensi maritim, terdapat 3 terumbu karang terindah di dunia yang berada di Indonesia. Sehingga, keinginan besar pemerintahan Jokowi Widodo - Jusuf Kalla menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia merupakan suatu kewajaran.
Perjuangan Indonesia untuk diakui menjadi negara kepulauan (archipelagic state) melewati proses yang cukup panjang. Bukan hal mudah untuk menyatukan nusantara dan diakui secara hukum oleh dunia. Diawali dengan Deklarasi Djuanda pada bulan Desember 1957, Indonesia telah menyatkan bahwa wilayah laut nasional sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan oleh wilayah darat yang berbentuk pulau-pulau.
Deklarasi Djuanda
“Bahwa segala perairan disekitar, diantara dan yang menghubungkan Pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalulintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang”.(Mohtar Kusumaatmadja)
Pada KHL (Konvensi Hukum LautPBB) tahun 1958 dan 1960 konsep negara kepulauan Indonesia belum diterima. Kesepakatan yang dihasilkan 2 konvensi yaitu lebar laut teritorial suatu negara sepanjang 3mil laut diukur dari garis pangkal. Sehingga status hukum perairan laut yang berada di luar wilayah teritorial dan diantara pulau-pulau mempunyai status laut lepas yang berlaku kebebasan laut lepas. Pada KHL 1982 berkat diplomasi yang dilakukan, konvensi menyepakati bahwa wilayah teritorial laut sepanjang 12 mil, dan perairan laut lepas diantara wilayah teritorial laut menjadi perairan kepulauan secara hukum. Hasil tersebut menandakan konsep negara kepulauan telah diakui. Bahwa Indonesia adalah satu kesatuan negara kepulauan secara utuh. Secara hukum wilayah perairan laut Indonesia diatur dalam KHL yang memberikan penjelasan mengenai Laut teritorial, Zona tambahan, dan Zona Ekonomi Ekslusif.
Laut teritorial adalah perairan dengan lebar 12mil dari pangkal kepulauan dimana Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut, dasar laut, subsoil, dan udara diatasnya berikut sumber daya yang ada di dalamnya. Zona tambahan diatur dalam pasal 48 KHL 1982 yang memberikan kesempatan pada negara kepulauan untuk menambah panjang 12mil dari batas teritorial yang sudah dimiliki, namun Indonesia belum memanfaatkan kesempatan ini. Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) merupakan wilayah laut yang ditarik 200 mil dari garis pangkal kepulauan, hal tersebut diatur dalam pasal 55 jo. 57 KHL 1982. Adanya ZEE memberikan kesempatan Indonesia untuk memanfaatkan segala kekayaan alam di wilayah ini.
KHL 1982 tidak terlepas dari usaha Indonesia dalam melakukan dilpomasi internasional. Diplomasi Indonesia terhadap Malasyia untuk mengakui konsep negara kepulauan tercapai dengan dua kesepakatan yaitu diizinkanya Malasyia untuk melakukan hubungan antara Malasyia Barat dan Malasyia Timur, serta hak perikanan tradisional kepada nelayan bubu Malasyia di perairan Pulau Anambas. Diplomasi Indonesia dengan Singapura disepakati dengan kerjasama latihan militer di Sumatera yang diatur dalam Defence Coorperation Arrangement (DCA), pemanfaatan-pemanfaatan pasir di kepulauan Riau untuk Reklamasi dataran Singapura atas imbalan mengakuin konsep negara kepulauan, dan pemanfaatan jalur udara maupun laut untuk kepentingan udara maupun laut. Indonesia juga melakukan diplomasi terhadap perusahaan-perusahaan minyak dan gas yang mempunyai kekuatan maritim dengan harapan mereka mau mengakui negara kepulauan Indonesia dan mendapat izin untuk berinvestasi.
Diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan baru dapat diterapkan secara hukum internasional pada tahun 1994. Kesepakatan yang dihasilkan pada 1982 berlaku pada 1994 secara mengikat. Sejak tahun 1945 sampai 1994 hampir 50 tahun Indonesia bukanlah negara kesatuan yang utuh secara hukum internasional. Fakta yang terjadi di lapangan adalah masih banyaknya batas-batas wilayah laut Indonesia yang belum selesai. Peristiwa pada tanggal 13 Agustus 2010 yang menimpa tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia yang ditangkap oleh Polisi Diraja Malasyia dalam wilayah teritorial Indonesia. Kejadian bermula dari tiga petugas Indonesia yang menghalau beberapa nelayan Malasyia masuk ke wilayah RI untuk melakukan pencurian ikan, namun petugas kita ditangkap di wilayah kita sendiri. Ini adalah bukti bahwa Indonesia masih mempunyai banyak pekerjaan rumah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi diperbatasan.
Konsekuensi dari hasil KHL atau UNCLOS (United Nation Convention on The Law of The Sea) 1982 selain diakuinya Indonesia sebagai negara kepulauan adalah munculnya Alur Laut Kepulauan Indoensia (ALKI). ALKI merupakan rute pelayaran dan penerbangan bagi kapal dan pesawat udara asing di wilayah perairan Indonesia. Keberadaan ALKI juga memberikan kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk menjamin keamanan pelayaran maupun penerbangan udara asing dari segala gangguan. ALKI terdiri dari ALKI I, II, dan III dengan fokus penjagaan pada ALKI II karena di rute ini terdapat banyak kapaldan pesawat asing yang melintas. ALKI II berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 2002, melintasi Laut Sulawesi - Selat Makassar - Laut Flores - Selat Lombok. Tugas negara untuk mengamankan negara kepulauannya merupakan tugas yang berkaitan dengan kepentingan global, bukan hanya Indonesia semata.
Dalam konteks keamanan maritim, kita dapat mempelajari bagaimana konsep keamanan maritim melalui dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Informal Consultative Process (ICP). Agenda ini diselenggarakan oleh PBB berdasarkan resolusi Majelis Umum PBB. ICP terlaksana sejak tahun 2001 dan telah memberikan laporannya kepada Sekjen PBB melalui Report of the Secretary-General on Oceans and the Law of the Sea. Awalnya saat ICP pertama kali terselenggara tidak ada konsep keamanan maritim. Hanya saja sudah disebutkan bahwa ada potensi ancaman untuk dunia internasional lewat laut. Ancaman adalah kegiatan-kegitan ilegal yang dilakukan berupa illicit traffic dalam obat-obatan narkotik dan zat-zat psikotropik, pemindahan para migran yang ilegal dan kejahatan terorganisir. Oleh karenanya keamanan laut harus dilihat dari konteks kegiatan ilegal tersebut. Pertemuan di ICP di tahun 2002 hampir sama dengan tahun 2001, bahwa tidak ada upaya untuk mendifisinikan kemanan maritim. Namun disini telah muncul kata ‘Keselamatan Maritim’ dalam dokumen ICP. Disana dinyatakan bahwa “keselamatan dan keamanan maritim harus diberikan prioritas yang tinggi dan bahwa berbagai tipe kejahatan yang terjadi di laut seperi serangan teroris, pembajakan, penyeludupan migran, illegal traffic dalam obat-obat narkotik dapat menjadi ancaman serius terhadap penggunaan laut secara damai”. Masuknya katacserangan teroris dalam keamanan maritim ini menandakan besarnya pengaruh peristiwa 11 September 2001. Pada pertemuan 2004 istilah keamanan maritim tidak dibahas, muncul kembali pada pertemuan 2005. Hal yang menarik pada ICP 2005 adalah adanya delegasi yang keberatan dengan dibahasnya Proliferation Security Initiative (PSI) sebagai bentuk pencegahan terhadap tindak terorisme lewat transportasi laut. PSI didirkan oleh inisiatif Amerika sebagai reaksi peristiwa 2001 tersebut. Dengan dibahasnya PSI maka akan memberikan wewenang bagi lembaga ini untuk mmenghintakan secara sepihak terhadap kapal yang dicurigai. Karena itu dalam pertemuan ini disebutkan bahwa “negara-negara harus bertindak secara ketat sesuai dengan hukum laut internasional dan menghindarkan penerapan kebijakan-kebijakan unilateral apapun yang bertentangan dengan norma-norma hukum yang ada yang berasal dari UNCLOS”.
Puncak dari usaha mendefisinikan keamanan maritim terjadi pada pertemuan ICP tahun 2006. Ada 4 agenda penting yang dibahas, salah satu agenda tersebut yaitu keamanan maritim. Pada sidang ke-62 setiap negara dimin membuat gagasan atau ide terkait agenda pembahasan tersebut. Pembicaraan mengenai keamanan maritim mulai lebih terfokus.adapun hasil yang diperoleh ternyata tidak mampu mendefisinikan keamanan maritim. Meski tidak terdapat definisi keamanan maritim secara internasional, telah disepakati beberapa komponen ancaman terhadap keamanan maritim. Identifikasi yang dilakukan terhadap dokumen The Present Addendum to the Report of the Secretary-General on Oceans and the Law of the Sea (A/63/63), keamanan maritim dikaitkan dengan penanganan terhadap tiga isu ancaman yaitu: (1) tindakan teroris terhadap pelayaran kapal dan instalasi lepas pantai (terrorist acts against shipping and offshore installations) (2) pembajakan dan perampokan bersenjata (piracy and armed robbery against ships) (3) lalu lintas obat terlarang dan narkrotik yang ilegal dan zat-zat psikotropik (illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances). Di samping itu terdapat pula kesepakatan bahwa skope ancaman terhadap keamanan maritim bersifat global dan karena itu membutuhkan kerjasama internasional, khususnya dari negara-negara pantai (costal states) dalam penanganannya.
Implikasi perkembangan konsep keamanan maritim bagi Indonesia dapat dilihat dari perpsektif hukum laut internasional (berdasarkan keputusan UNCLOS 1982), kawasan Laut Asia Tenggara yang secara konvensional disebut juga sebagai Laut Cina Selatan. Laut ini dikategorikan sebagai kawasan laut semi-tertutup, disebabkan 90% dari perimeternya dari daratan baik dalam bentuk daratan luas ataupun kepulauan. Melihat kondisi tersebut maka ada sebuah konsekuensi mengenai kebutuhan bagi seluruh negara-negara di Asia Tenggara untuk melakukan kerjasamamelekat dalam karakteristik laut di Asia Tenggara. Dilihat dari perspektif jumlah aktor yang dilibatkan kerjasama maka pada dasarnya dapat dilakukan dengan du acara yaitu melalui diplomasi bilateral langsung atau melalui pengembangan mekanisme kerjasama regional. Ciri dari diplomasi bilateral langsung adalah membahas mengenai penyelesaian masalah batas kelautan maupun sengketa pulau. Contohnya pada batas penentuan continental shelf antara Indonesia - Malasyia yang disepakati pada 27 Oktober 1969. Ciri dari pengembangan mekanisme kerjasama regional yaitu kerjasama yang mengarah pada fungsi pemanfaatan laut.
Indonesia perlu memperkuat klaim kepemilikan terhadap pulau-pulau terluar yang dapat meningkatkan daya tawar sebagai negara kepulauan. Akan lebih kuat secara internasional jika klaim yang dilakukan dapat dibuktikan dengan bukti penduduk di pulau-pulau tersebut. Perhatian yang diberikan pemerintah untuk pulau-pulau tersebut dirasa memprihatinkan, memang kesalahan tidak bisa ditunjukkan pada satu pihak. Perlu adanya kerjasama semua warga negara untuk mempertahankan status negara kepulauan. Pulau Sipadan yang terletak tidak jauh dari Kalimantan (Sebelah utara Pulau Taarakakn, Kaalimantan Timur) pernah menjadi pulau yang diperebutkan antara Indonesia dan Malasyia. Saat sengketa ini dibawa ke Mahkamah Internasional, Malasyia oleh mahkamah adalah pemilik Pulau Sipadan. Kemenangan Malasyia disebabkan oleh lebih dominannya Malasyia dalam mengurus Pulau Sipadan. Pulau lain yang pernah menjadi sengketa antara Indonesia dan Malasyia yang akhirnya diputuskan milik Malasyia adalah Pulau Ligitan. Betapa mirisnya kita dengan status negara kepulauan namun pulau-pulau tersebut terbengkalai dan diambil negara lain.
Dalam hal signifikansi kerjasama keamanan harus dimulai dari identifikasi kepentingan maritim bagi Indonesia dalam masa damai maupun dalam masa perang. Menurut K.R. Snight kepentingan maritim dalam masa damai maupun masa perang mengharuskan adanya konsep kebijakan keamanan maritim yang terpadu.
Pertama, kebijakan itu harus membedakan antara zona nasional dan zona transnasional. Termasuk dalam zona nasional adalah ZEE, zona kontingen, dan laut teritorial. Zona transnasional yaitu exploitation of sea-bed resources, management of living resources dan freedom of navigation. Pembeda yang dibuat menjadi penting karena zona transnasional adalah zona yang mengikuti hukum internasional dan norma diplomatik. Sementara zona nasional adalah hak Indonesia untuk mengelola. Namun pembeda ini tidak bersifat eksklusif karena ada wilayah arsiran misalnya antara ZWW yang berada dalam zona nasional akan memiliki kaitan dengan management of living resources.
Kedua, kebijakan keamanan maritim yang terintegrasi itu mengharuskan adanya pelibatan banyak aktor dalam pembuatan keputusan. Klasifikasi aktor ini dapat dibedakan atas dua kategori besar yaitu yang berasal dari sektor negara dan yang berasal dari sektor sipil (civilian sector). Yang berasal dari sektor negara dapat pula dibedakan atas tiga sub-kategori yaitu (1) yang berbasis hukum-diplomatik, (2) yang berbasis penggunaan kekuatan militer seperti tentara untuk masa perang (3) yang berbasis penegakan hukum (misalnya coastguard, polisi dan kepabeanan) untuk masa damai (4) yang berbasis fungsional dan sumber daya seperti instansi pemerintah yang menangani perhubungan laut dan perikanan. Pembagian wewenang di antara berbagai sub-sektor negara ini, maupun penciptaan mekanisme pertukaran informasi menjadi sangat krusial untuk menciptakan kebijakan keamanan maritim yang komprehensif. Sementara yang berasal dari sektor sipil dapat pula dibedakan atas dua sub-kategori yaitu yang (1) berbasis profit seperti perusahaan swasta yang terkait dengan kegiatan shipping, perikanan, dan pertambangan laut dan (2) yang berbasis non-profit seperti organisasi-organisasi yang memiliki kepedulian terhadap pelestarian lingkungan laut.
Untuk membangun Indonesia sebagai negara maritim dengan berbagai kekayaan alam yang disediakan, Indonesia perlu banyak berbenah. Perjuangan para pendahulu dalam meraih status negara kepulauan bukan hal yang mudah. Sekarang tugas Indonesia adalah mempertahankan dan mengembangkan. Secara hukum kita sah sebagai negara kepulauan melalui UNCLOS 1986 yang berlaku pada tahun 1994. Perlu ada peremajaan kapal-kapal TNI AL sebagai respond dari tuntutan zaman. Dewasa ini armada kapal TNI AL didominasi oleh kapal patroli, untuk kapal canggih yang dimiliki masih sangat minim. Bagaimana Indonesia dapat melindungi ribuan pulaunya yang bernama dan tak bernama kalau SDM dan IPTEK kita tidak siap. Semuanya kembali lagi pada kesadaran bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar. Ketika Indonesia diembargo lewat sumber daya alamnya oleh negara lain, Indonesia tidak akan mati. Karena sebenarnya Indonesia lah sumber dari segala sumber daya alam yang ada. Potensi Indonesia untuk diserang secara langsung lewat adu militer kemungkinan kecil karena TNI dan rakyat kita tangguh dan kuat. Cara halus seperti Maalasyia yang sudah dicontohkan dengan memelihara pulau lebih insentif walaupun bukan milik mereka, bisa menjadi senjata mematikan bagi Indonesia. Sudah saatnya Indonesia menemukan formulasi agar rakyatnya mau menyebar ke seluruh pelosok Indonesia, agar secara tidak langsung ikut mengamankan wilayah Indonesia ini.
Kedua, kebijakan keamanan maritim yang terintegrasi itu mengharuskan adanya pelibatan banyak aktor dalam pembuatan keputusan. Klasifikasi aktor ini dapat dibedakan atas dua kategori besar yaitu yang berasal dari sektor negara dan yang berasal dari sektor sipil (civilian sector). Yang berasal dari sektor negara dapat pula dibedakan atas tiga sub-kategori yaitu (1) yang berbasis hukum-diplomatik, (2) yang berbasis penggunaan kekuatan militer seperti tentara untuk masa perang (3) yang berbasis penegakan hukum (misalnya coastguard, polisi dan kepabeanan) untuk masa damai (4) yang berbasis fungsional dan sumber daya seperti instansi pemerintah yang menangani perhubungan laut dan perikanan. Pembagian wewenang di antara berbagai sub-sektor negara ini, maupun penciptaan mekanisme pertukaran informasi menjadi sangat krusial untuk menciptakan kebijakan keamanan maritim yang komprehensif. Sementara yang berasal dari sektor sipil dapat pula dibedakan atas dua sub-kategori yaitu yang (1) berbasis profit seperti perusahaan swasta yang terkait dengan kegiatan shipping, perikanan, dan pertambangan laut dan (2) yang berbasis non-profit seperti organisasi-organisasi yang memiliki kepedulian terhadap pelestarian lingkungan laut.
0 comments:
Post a Comment